Lembar 10

9.6K 1.1K 125
                                    

"Ma, Pa, dimana makam Bunda aku?"

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Ma, Pa, dimana makam Bunda aku?"

Nuraga dan Dayita terhenyak bingung atas pertanyaan tiba-tiba yang terlontar dari mulut Jenggala. Saat ini, yang menemani Jenggala di rumah sakit hanya Nuraga dan Dayita, sedangkan Sahmura dan Daksa sudah pulang sejak satu jam yang lalu.

Tanpa menatap kedua orang tuanya, Jenggala bertutur kata demikian. Namun jika di telisik lebih dalam, sebenarnya kedua mata itu berkaca-kaca.

"K-kamu tau?" tanya Dayita terbata-bata.

"Kakek udah cerita semuanya. Aku bukan anak kandung kalian, tapi aku anak Bunda Nana, adik Papa." Jenggala menjawab dengan lugas. Berbanding terbalik dengan hatinya yang perih.

Sebelum kakek meninggal, beliau sempat menceritakan satu fakta yang membuat Jenggala tak akan pernah bisa lupa. Sesuatu yang tak pernah ia sangka.

Pantas saja, jika mama dan papanya mengirim ia ke rumah kakek, dibanding mengirim Sahmura atau pun Daksa. Itu karena ia bukan bagian dari mereka.

Lalu ia juga sempat bertanya, dimana ibu kandungnya saat ini. Dan lagi-lagi, jawaban dari kakek mampu membuatnya bungkam seribu bahasa.

Ibunya sudah meninggal. Ia terlahir dari sebuah tragedi. Walau pun bisa dibilang, ia ini bukan cucu kandung kakeknya, namun beliau tidak menunjukkan kasih sayang yang berbeda.

Kakek adalah ayah dari mamanya. Jadi otomatis ia tidak memiliki hubungan apa pun dengan kakek. Jika dengan neneknya dari pihak papa yang saat ini tinggal di Jepang, ia masih memiliki hubungan darah.

Akan tetapi, Jenggala sangat berterimakasih dengan kakeknya. Tak peduli dari siapa ia terlahir, kakek mencintainya dengan tulus. Bahkan kakek lebih berpihak padanya.

Sampai hari ini, baik kakek atau pun papanya, tidak ada yang tahu siapa ayah kandungnya. Karena semua itu terjadi dengan tiba-tiba. Wanita sebaik Nana harus merasakan sesuatu yang tak pantas dia dapatkan.

Jenggala marah, pada waktu itu. Marah pada dirinya sendiri. Karena dirinya lah, penyebab sang ibu menderita. Sejak ibunya mengandung, begitu banyak rintangan yang harus ibunya lewati. Terutama menahan malu.

Nuraga berjalan mendekat, lalu meraih tangan Jenggala. Tangan yang sama persis dengan milik mendiang adiknya. "Mendiang bunda kamu sudah menitipkan kamu pada Papa. Tapi Papa dibutakan oleh ketakutan. Saat tau apa yang bunda kamu alami, Papa marah. Terutama sama kamu. Awal-awal, Papa bahkan nggak bisa menerima kamu. Jika bukan karena Dayita, mungkin sampai saat ini Papa nggak akan sudi menatap kamu."

Jenggala menahan nafas. Fakta ini lah yang ingin ia tahu. Tentang alasan mengapa mama dan papanya bersikap berbeda. Dan tentang mengapa tidak ada satu pun kehangatan yang ia rasa dari keduanya.

Namun, pernyataan papanya justru membuat sembilu sakit di hatinya. Luka yang sudah menganga kembali terasa perih seolah baru saja tersiram cuka.

"Sebenarnya Papa berbohong. Saat itu, saat usia kamu lima tahun, sebenarnya perusahaan Papa baik-baik saja. Papa hanya mencari alasan agar kamu bisa pergi dari hadapan Papa. Kakek kamu tiba-tiba mengabari. Beliau mengatakan, jika beliau kesepian. Kesempatan itu Papa gunakan untuk mengirim kamu ke sana. Tanpa Papa sadari, jika kakek kamu sudah tahu sifat asli Papa yang sebenarnya. Kakek kamu tau, jika Papa tidak pernah menganggap kamu." Nuraga melanjutkan.

|✔| Kedua Where stories live. Discover now