Lembar 11

8.7K 1K 91
                                    

Seperti permintaan Jenggala waktu itu, yang mengatakan ingin tahu dimana makam bundanya, akhirnya setelah empat hari di rawat dan anak itu terus merengek ingin pulang, Nuraga memutuskan untuk mengabulkan keinginan Jenggala

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Seperti permintaan Jenggala waktu itu, yang mengatakan ingin tahu dimana makam bundanya, akhirnya setelah empat hari di rawat dan anak itu terus merengek ingin pulang, Nuraga memutuskan untuk mengabulkan keinginan Jenggala.

Bahkan Nuraga dan Dayita cukup canggung saat harus menghadapi sifat manja Jenggala semalam. Selama ini, yang mereka tahu Jenggala adalah sosok diam tanpa kata. Untuk pertama kalinya, Jenggala merengek di depan Nuraga dan Dayita, yang membuat pasangan itu tentu saja kelimpungan.

Hari ini juga, lomba akan dilaksanakan. Jenggala berkata, bahwa setelah dari makam bundanya, ia ingin ke sekolah. Ingin menyaksikan penampilan Sena dan Tama. Sekaligus ingin menyemangati mereka berdua.

Lagi, Nuraga tak mampu mendebat keinginan Jenggala. Lebih tepatnya, ia tak tahu harus membujuk dengan cara apa. Jika ini Daksa, dia tak perlu repot. Masalahnya, ini Jenggala, sosok yang tak pernah ia anggap eksistensinya.

Pemakaman umum pagi ini terlihat cukup ramai. Banyak orang berziarah ke makam keluarga mereka masing-masing. Jenggala terus mengekor di belakang Nuraga, mengikuti langkah pasti lelaki itu.

Sampai akhirnya mereka berhenti di sebuah makam dengan batu nisan bertuliskan nama seseorang. Nana Anggraini. Itu nama bundanya.

"Pa, Ma, boleh tinggalin aku sendiri? Aku mau berdua aja sama Bunda."

Nuraga mengangguk, begitu pun dengan Dayita. Mereka melangkah pergi, hanya menjaga jarak dari Jenggala. Dan mereka pun masih mendengar suara Jenggala jika anak itu berbicara.

Jenggala berjongkok. Mengamati makam itu dengan lekat. Tiba-tiba matanya terasa panas. Dadanya pun sesak. Seperti ada benda berat yang menghimpit di sana.

"Bunda ... ini Jenggala. Anak yang sudah Bunda perjuangkan, anak yang sudah membuat hidup Bunda hancur berantakan."

Mendengar kalimat Jenggala, Dayita tak tahan untuk tidak terisak. Sembari terus menggenggam tangan Nuraga, Dayita berusaha untuk berdiri kokoh di sana, demi Jenggala.

Tangan Jenggala mengusap batu nisan bundanya dengan lembut. Seolah tengah mengusap wajah cantik bundanya. Kata kakek, bundanya itu sangat cantik. Kakek bahkan masih mengingatnya dengan jelas, walau pun mereka hanya sempat bertemu selama beberapa kali.

"Maaf Jenggala baru bisa datang jenguk Bunda. Kemarin, Jenggala nggak memiliki keberanian itu, Bunda. Jenggala takut, Jenggala belum siap untuk bertemu Bunda. Tapi sekarang, Jenggala sudah tidak apa-apa. Jenggala kuat kok, Bunda."

Semilir angin menerbangkan anak rambut Jenggala. Jenggala memejamkan mata, kemudian berdiri. Menatap makam bundanya sekali lagi, sebelum menghampiri Nuraga dan Dayita yang masih berdiri di sana.

"Antar Jenggala ke sekolah, ya, Pa?"

"Iya. Kamu sudah selesai dengan bunda kamu?" tanya Nuraga.

"Hm. Bunda mau istirahat katanya."

|✔| Kedua Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang