Lembar 16

8.6K 1K 210
                                    

"Sa, lo yakin?"

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Sa, lo yakin?"

Daksa, yang tengah menatap jauh ke depan, seketika menoleh ke belakang kala mendengar pertanyaan dari salah seorang pria. Menatap sejenak, Daksa lantas menjawab, "Yakin. Dan lo harus berhasil."

"Sampai dia mati?"

"Jangan. Renggut salah satu sumber hidupnya. Biar dia tau rasanya hidup dengan rasa tersiksa."

Pria tadi mengangguk. Meraih jaket kulit yang di sampirkan disandaran kursi, lalu melirik ke arah anak buahnya. Melihat tatapan dari sang ketua, tiga pria lainnya mengangguk lalu mengikuti pria tadi keluar dari ruangan.

"Maafin gue." gumam Daksa menatap lekat punggung pria-pria tadi.

Di balik heningnya ruang rawat Jenggala, ada Andika dan seorang dokter yang tengah mengobrol di luar ruangan. Hari ini Jenggala akan pulang dari rumah sakit, namun sebelum itu, Andika ingin konsultasi terlebih dahulu tentang kondisi sang putra.

"Semua baik-baik saja, Pak. Tidak ada yang perlu di khawatirkan." ucap sang dokter kepada Andika.

Ucapan tersebut berhasil membuat Andika tersenyum tipis dan bernafas lega. Setelah mengucapkan terimakasih, Andika masuk ke dalam ruangan dan melihat Jenggala duduk di tepi ranjang dengan kaki menjuntai ke bawah.

Tangan besar Andika mengusap pucuk kepala sang putra. Di balas senyuman oleh Jenggala. "Hari ini kita pulang. Tapi pulang ke rumah Papa, kamu nggak keberatan, 'kan?" tanya Andika hati-hati.

"Nggak keberatan sama sekali. Justru, tadi aku malah mau tanya, Papa akan antar aku ke mana."

Ada gambaran senyum miris di bibir Andika. Namun begitu tipisnya, sampai Jenggala tidak akan menyadarinya. "Ayo, Nak." Dengan perlahan, Andika merangkul tubuh kurus itu, dan keduanya berjalan keluar.

Sampai di dalam mobil, Jenggala tak berhenti tersenyum. Menatap wajah Andika sesering mungkin, seolah menyadarkan dirinya sendiri, bahwa semua ini nyata.

Merasa diperhatikan terus menerus, Andika mengulurkan satu tangannya untuk membelai lengan Jenggala yang tertutup jaket kebesaran miliknya. "Kenapa, sih? Ada yang aneh sama wajah Papa?"

"Enggak." Jenggala tersenyum, kemudian melanjutkan, "Papa ganteng banget. Aku nggak tau kalau Papa bakal seganteng ini."

Pernyataan Jenggala barusan berhasil membuat Andika mengudarakan tawa. "Bisa aja kamu. Kamu juga ganteng, kan anaknya Papa."

"Iya. Tapi nggak seganteng Papa."

"Masa, sih?"

"Beneran."

Lagi, Andika tertawa. "Oke, oke, makasih ya Nak."

"Sama-sama. Oiya, Pa, boleh mampir ke minimarket dulu nggak?"

"Boleh, dong. Kamu mau beli apa? Biar Papa aja yang turun." Andika kemudian menepikan mobilnya di tepi jalan, bersebrangan dengan minimarket.

"Aku nggak bawa perlengkapan mandi. Papa nggak keberatan beliin aku itu?"

|✔| Kedua Where stories live. Discover now