"I'm a boss in a man's world."
♫ Destiny Rogers - Tomboy ♫*
Meera mengangkat kepalanya yang sempat terbentur keras pada roda kemudi dan menyisir pandangan. Kecelakaan beruntun. Malangnya, saat ini mini coopernya berada di tengah. Terhimpit dua kendaraan bermodel mini bus yang menyebabkan Meera tidak mampu mengeluarkan mobilnya dari situasi tersebut.
Beruntung, tidak ada yang menghalangi pintu mobilnya. Meera pun bergegas keluar dari sana dan meminta bantuan, tapi tidak satu pun orang yang mengindahkannya. Meera berdecak keras. Kesal bukan main karena "para penolong" itu mungkin menganggapnya "baik-baik saja" karena tidak mengalami luka serius seperti pengemudi di depan dan belakangnya.
Damn it! Apa yang harus ia lakukan sekarang?
Ternyata takdir tidak sedang benar-benar memusuhinya. Karena detik berikutnya, Meera merasakan seseorang menarik lembut tangannya dan membawanya menjauh dari kerumunan. Dan kini dirinya berada di dalam sebuah mobil Jeep berwarna merah yang berisikan tiga orang lelaki, termasuk sosok yang mengarahkannya masuk dalam kendaraan ini.
"Are you okay?" tanya salah satunya yang duduk di belakang kursi kemudi.
Meera mengerjap-ngerjap. Masih tidak dapat memahami apa yang kini terjadi padanya. "S-siapa kalian?"
"Jangan takut, kami nggak gigit."
Dibilang seperti itu, Meera justru semakin merapatkan punggungnya pada pintu mobil. Bagaimana tidak? Mereka tampak misterius dan terlihat berandal dengan pakaian serba hitam. Mulai dari masker, topi, kaus, jaket kulit, celana panjang, hingga sepatu serta talinya. Terdapat aksesori seperti anting, ikat pinggang rantai, cincin, hingga jam tangan. Penampilan mereka semua sangatlah persis antara satu dengan lainnya. Entah apa yang membedakan.
"Berani nyentuh sedikit pun, gue tonjok!" ancam Meera, galak. Meskipun dirinya tampak feminin dari luar, ia tidak akan segan-segan melukai jika disakiti.
"Kami bukan musuh."
Kemudian lelaki itu menurunkan masker dan membuka topinya, diikuti oleh anggota lain, termasuk sosok yang sedang mengemudikan Jeep yang tidak lain adalah seseorang yang menariknya dari kerumunan. Seketika Meera pun dapat melihat "perbedaan" di antara mereka semua. Masing-masing memiliki bekas luka di area yang berbeda-beda.
Lelaki yang sedang menyetir, memiliki luka sepanjang 1 senti pada bagian tulang hidung mancungnya. Lelaki yang sejak tadi berusaha menenangkannya, memiliki luka sepanjang 2 senti pada bagian tulang dahi. Sementara lelaki yang duduk di belakangnya persis, memiliki luka pada bagian tulang pipi yang memanjang hingga nyaris menyentuh pelipis.
"Sebaliknya, kami justru mau nolong," lanjut lelaki itu.
"Apanya nolong kalau begini? Ini namanya penculikan!" Meera semakin tidak paham. "Jangan lepas masker depan gue!" protesnya, kian merapatkan masker. Alih-alih tersindir dan merasa perlu "tahu diri" dengan mengenakan kembali benda yang melindungi manusia dari virus, mereka justru terkekeh.
"Tenang, masker di dunia kita cuma formalitas," ucap lelaki yang mengemudikan Jeep. "Kita kebal sama covid-19."
Meera mendengus seraya memutar mata. Berpikir jika semua itu hanyalah omong kosong dan asumsi pribadi mereka yang merasa paling kuat imun tubuhnya. Namun, tanpa diketahui Meera sebetulnya memang begitulah nyatanya.
Mereka bukan sembarang kelompok. Dan Meera juga akan merasakan "kebebasan" tersebut sebentar lagi usai penobatan.
"Cut the bullshit! Turunin gue sekarang juga atau gue laporin kalian ke polisi!" ancam Meera, tidak gentar sama sekali.
Sayang, pemberontakan tersebut menjadi bencana bagi Meera karena setelahnya, lelaki di belakang kursi gadis itu mau tidak mau terpaksa menarik turun masker Meera dan membekap mulut serta hidungnya dengan sapu tangan yang sudah dibasahi obat bius. Tidak berbahaya, tapi sanggup membuat Meera pingsan. Tidak sadarkan diri hingga Jeep tersebut masuk ke wilayah di mana markas mereka berada.
***
Meera terbangun di atas sofa 3 seater dalam sebuah tempat yang tidak dikenalinya. Sontak, ia bergegas mengecek keadaannya dengan berkaca pada cermin besar yang berada di sudut ruangan. Kondisinya masih sama. Yang membedakan hanyalah kini dirinya tidak lagi memakai masker dan entah di mana benda itu berada.
Meera bergegas mencarinya. Namun, bukannya menemukan masker, ia justru menemukan ponselnya telah tergeletak manis di atas meja kerja yang juga tersedia di sana. Di mana sebenarnya ia berada sekarang? Benaknya, bertanya-tanya.
17 missed calls dari Jannah, 6 missed calls dari Laras, dan 29 missed calls dari Bara.
Meera berdecak pelan saat menemukan kenyataan bahwa dirinya telah membuat mereka khawatir. Setelah ini, mas Baranya pasti akan memutuskan untuk mempekerjakan supir agar Meera tidak dapat mengemudikan kendaraan seorang diri dan selalu ada orang yang mengawasinya.
Sedang mengetik pesan dan mengatakan pada Jannah bahwa dirinya baik-baik saja, saat itu juga pintu ruangan terbuka. Meera mendapati seorang lelaki berpenampilan serupa dengan ketiga lelaki sebelumnya, masuk ke dalam dengan membawakan roti juga segelas susu. Yang membedakan kini, sosok tersebut memiliki luka yang membelah alis kiri hingga menyentuh kelopak matanya.
"Ini, dimakan dulu. Biar nggak kosong perutnya."
"Di mana gue?" tanya Meera, tidak menanggapi perhatian yang diberikan salah satu anggota padanya.
Tersenyum, lelaki itu menatap Meera hangat. Seperti yang sudah dikatakan kawanannya, mereka memang bukan musuh. "Di markas kita."
"Look, let's make a deal. Berapa pun yang kalian minta, gue akan kasih. Tapi tolong, pulangin gue," mohon Meera, memberanikan diri melangkah mendekat pada lelaki itu. "Please, keluarga gue nyariin gue. Mereka pasti khawatir."
"Bos kayaknya udah salah paham."
Meera berjengit mendengar panggilan untuknya. "B-bos?"
Bertepatan dengan rasa bingungnya yang semakin menjadi, sosok lainnya masuk dan memberikan penjelasan. "Kami udah ngelakuin pencarian ini sejak lama. Kami nggak akan ngelepasin Bos begitu aja." Kemudian ia menyerahkan sebuah foto pada Meera. Sosok berambut merah yang sedang memunggungi kamera. Sekilas, perempuan itu memang tampak seperti dirinya. Tapi tentu saja bukan! Meera jelas-jelas tidak pernah memakai pakaian serba hitam apalagi dengan jeans belel dan boots. "Menurut Bos kami sebelumnya, inilah penerus dia."
"Wait! Ini salah paham." Meera mengerang frustrasi. "Gue bukan cewek yang ada di foto itu! Kalian jelas-jelas bisa lihat sendiri, gaya berpakaian kita berbeda 180 derajat!"
Kedua lelaki itu saling berpandangan sebelum akhirnya salah satunya mengembuskan napas. "Bos, kami udah tahu segalanya tentang Bos. "Berbaur" dengan orang biasa dan "nggak terlihat" adalah kelebihan Bos."
"Apa sih?!" Amarah Meera mulai terpancing. "Kalian orang-orang sinting!"
Meera mendorong keras lelaki yang menghalangi jalannya dan keluar dari ruangan. Alih-alih merasa lega, dirinya justru semakin merasa sesak karena jumlah dari kelompok berandal ini ternyata tidaklah sedikit! Dan karena keributan yang dibuatnya barusan, kini semua orang menatap ke arah Meera yang berdiri di ambang pintu.
Damn! Apakah kini hidupnya semakin terancam?
Tapi ketakutannya tidak terjadi. Bukannya melukai Meera, semua orang justru berlutut di hadapannya dan melepaskan topi mereka.
"Welcome, Boss. We promise to protect you, no matter what," ucap salah seorang dari mereka, mewakili seluruh anggota. Lantas, semua orang berdiri dan menyambut Meera dengan penuh kehormatan. "Thank you for being part of us."
Oh God! Apa yang sedang Meera hadapi sekarang?
👠
Hai! Semoga kalian tetap suka ya ide lama ini :")
Thank u!
Love u!
See u!
KAMU SEDANG MEMBACA
DANGER: The Devil Wears High Heels #3
General FictionBehind The Salim Series Book #3 Cinta, bagi Al Meera Salim adalah sesuatu yang terkutuk. Bagaimana mungkin banyak orang yang rela menderita dengan alasan mereka 'bahagia' karena cinta? Tidak masuk akal! Sampai kapan pun, ia tidak akan terlibat denga...