Chapter: Forty Five

1.9K 487 62
                                    

"I'm filled with flaws and attitude. So if you need perfect, I'm not built for you."
Bella Poarch - Build a Bitch

*

"Finally!"

Riana bertepuk tangan antusias. Akhirnya mereka berkumpul kembali dan bisa membawa pasangan masing-masing kali ini. Plus, bisa bebas bergosip juga membicarakan lawan jenis tanpa takut Meera akan pergi dari hadapan mereka.

Tapi hal tersebut justru berpindah pada Lisa. Terlihat sekali dari wajahnya yang sudah tertekuk sejak bergabung. Ditambah dengan responsnya yang tidak senang sama sekali mengetahui seluruh sahabatnya benar-benar datang bersama pacar.

"Gue udah bilang, lo di rumah aja," sindir Abel pada Lisa.

"Iya, terus lo jadiin gue bahan omongan," tukas Lisa yang membuat bibir Abel sontak terkatup.

"Lo nggak berniat cari cowok?" tanya Meera yang membuat Lisa semakin bersungut.

"Meer, serius. I'm happy for you two. Jangan sampai gue tarik ucapan gue--"

"Berani lo ngancam gue?" Sebelah alis Meera menukik. "Siap-siap bayar sendiri."

Lisa pun hanya tersenyum masam dibuatnya.

"Wih, ini ditraktir elo?" tanya Komo, pacar Riana. Pemuda itu tampak senang mendengarnya. Bagaimana tidak? Ia sudah ketar-ketir pas ceweknya mengatakan pindah kafe karena yang lama sudah tutup. Mendengar nama tempat yang akan mereka kunjungi pun membuat Komo nyaris membatalkan rencana Riana.

Ya, saat ini mereka berada di kafe yang super bagus yang sangat cocok dijadikan sebagai tempat kencan paling romantis. Selain dipenuhi berbagai tanaman gantung serta warna-warni bunga, bangunan tersebut didominasi oleh kaca. Dari dinding hingga atap bagian outdoor pun transparan. Setiap sudutnya terlihat mewah, begitu juga dengan harga menunya.

Meera hanya mengangguk. Tidak menyadari tatapan Daemon di sampingnya yang tampak kurang senang mendengarnya.

"Pricelist di sini mahal lho," ucap Esa yang langsung disikut oleh Abel selaku pacarnya.

"Jangan ngeraguin Meera kamu! Uang di dompetnya merah semua, sama kayak rambutnya," gurau Abel yang membuat Meera berdecak.

Mendengar hal tersebut, Meera tersenyum puas. Ia paling suka dipuji dan dibanggakan, apalagi jika di depannya langsung seperti ini.

"Pantas belakangan dompet gue isinya goceng semua." Arif mengusap kepalanya. "Rambut gue mulai cokelat kena matahari mulu."

Ruby yang mendengar sang pacar memamerkan kemiskinan pun mendelik. "Jangan bangga!"

"Besok gajian kok, Sayang," ralat Arif, buru-buru agar Ruby tidak marah padanya. Walaupun cepat membaiknya, gadis itu kalau marah cukup seram. Mau tidak mau, Arif jadi kasihan pada Daemon. Karena menurut Ruby sendiri, murkanya dia belum semenakutkan Meera.

Ruby baru akan membuka suara kembali saat tatapannya tertuju pada sosok familier di depan pintu kaca kafe yang tengah sibuk dengan ponselnya. "Eh, itu drummer band lo bukan sih, Dae? Siapa tuh namanya? Zaki?"

"Zain, anjir!" Lisa meralat.

"Ciye, ingat." Abel menaikturunkan kedua alisnya. "Sama-sama jomlo nich."

Meera yang menyadari kejanggalan tersebut lantas menoleh pada Daemon. "Kamu ngundang dia?"

Daemon meringis kecil. "Maaf. Aku kasihan sama Zain karena pengin ngumpul bareng anak-anak. Lagian, Lisa kayaknya juga butuh teman."

DANGER: The Devil Wears High Heels #3Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang