"Cause if you think I was born yesterday, you have got me wrong."
♫ Dua Lipa – IDGAF ♫*
Tommy mengacak rambutnya, frustrasi. Ini sudah kedua kalinya ia "kecolongan". Lelaki itu benar-benar merasa gagal melakukan tugasnya. Alih-alih melindungi, Tommy justru terlihat seperti beban bagi Red Cobra, terutama bos mereka.
"Kok bisa sih, Tom?! Lo benar-benar nggak sepeduli itu sama keadaan Bos?" sindir Zain, kesal.
Regan berdecak. "Udahlah, Zain. Lo nggak ingat apa kata, Bos, tempo lalu? Jangan saling nyalahin. Mungkin Tommy terlalu fokus ngelindungin data di laptopnya gara-gara penyadapan sebelumnya, jadi lengah sama handphonenya," jelasnya, membela sang sahabat.
Esa manggut-manggut, menyetujui. Meskipun Regan bukan bagian dalam pemrograman, tapi lelaki itu cukup tahu sedikit banyak mengenai tugas Tommy maupun Esa. Regan juga kerap membantu dalam aksi mereka ketika memang dibutuhkan. Itulah mengapa Regan membela Tommy. Berkutat dengan hal ini memang tidak semudah yang dibicarakan.
Namun, meskipun tidak bisa sepenuhnya menghakimi Tommy, wajar jika Zain murka. Pasalnya, ponsel mereka memiliki history percakapan antara seluruh anggota, Daemon, dan juga Meera dalam sebuah group chat. Mereka memang tidak pernah membahas keberadaan bosnya di sana. Tapi lain cerita jika pihak mafia sampai mengetahui "profil" Meera di sana.
Beni yang sejak tadi terdiam, kemudian bangkit dari duduknya. "Markas ini udah nggak aman. Kita harus pergi dari sini."
"Atau kita semua yang udah nggak aman," lirih Vero, berhasil membuat semua orang memandanginya dengan tatapan bingung. "Ada pengkhianat di antara kita."
Kalimat tersebut tentunya membuat semua orang siaga seolah musuh ada di kanan dan kiri mereka.
"Daemon," ucap Tommy, tanpa ragu. Selama ini ia mahir menjaga data-data. Baru kali ini dirinya merasa bodoh karena telah dipermainkan. Daemon adalah nama yang pertama kali terlintas di benaknya ketika membicarakan soal "pengkhianat". Karena hanya lelaki itu yang dirasa "berani" menjatuhkan sesama anggota, mengingat Daemon merupakan "orang lain" dalam Red Cobra alias bukan orang terpilih seperti mereka, melainkan dibawa oleh bosnya sendiri yang bisa saja keliru.
"Jangan nuduh tanpa bukti, Tom," tegur Beni.
Regan pun membela, "Gue rasa tuduhan Tommy beralasan. Kalau kalian sadar, semua keanehan ini dimulai sejak Daemon datang."
"Daemon datang setelah mafia terbukti lagi ngejar Bos kita," lanjut Vero lantas menjentikkan jemari. "Benar, semua dirasa masuk akal sekarang."
"Tunggu!" Zain meneguk ludah. "Itu berarti, Bos nggak aman?"
"Shit!" umpat Beni. "Kita pergi temui Bos sekarang juga!"
***
Meera...
Meera...
MEERA!
Tubuh Meera yang sudah berada persis di pinggir ranjang, nyaris terjatuh kalau saja Daemon tidak sigap menahannya. "You okay, Boss?" tanya lelaki itu, khawatir. Bagaimana tidak?
Wajah Meera memucat. Rona merah muda yang selalu menghiasi kedua pipi mulusnya seketika lenyap. Gadis itu bahkan berkeringat baju yang dikenakannya terlihat basah. Apakah Meera barusan bermimpi buruk? Kalau iya, sosok apa yang menghantuinya hingga ketakutan begitu sarat di sepasang matanya bahkan ketika tidak lagi terpejam?
Seakan menjawab pertanyaan Daemon, Meera mengusap peluh di pelipisnya usai membenarkan posisi menjadi terduduk. "Sori. Mimpi buruk gue semakin menjadi."
KAMU SEDANG MEMBACA
DANGER: The Devil Wears High Heels #3
General FictionBehind The Salim Series Book #3 Cinta, bagi Al Meera Salim adalah sesuatu yang terkutuk. Bagaimana mungkin banyak orang yang rela menderita dengan alasan mereka 'bahagia' karena cinta? Tidak masuk akal! Sampai kapan pun, ia tidak akan terlibat denga...