12. Happiness?

32 5 0
                                    

Selimut yang membungkus tubuh Nathaniel akhirnya terbuka, memperlihatkan Nathaniel yang meringkuk dibawah sana. Nathaniel terlihat menggigil kedinginan, bibir Anak itu bergetar, tak henti-hentinya memanggil Sang Bunda.

Aditya yang awalnya hendak ingin marah, lalu mengurungkan niatnya. Semuanya tergantikan dengan perasaan khawatir, melihat Sang Putra meringkuk dibawah sana, tangannya bergerak mengulur menyentuh kening Nathaniel dan dapat ia rasakan betapa panasnya suhu tubuh Nathaniel pada saat ini.

Aditya sedikit mengerjap mendapati Sang Putra yang sedang demam tinggi. Ia lalu membuang selimut ditangannya sembarang. Kedua telapak tangannya kemudian menyetuh kepala Nathaniel, terbesit perasaan khawatir disana.

"El, El kamu kenapa? Bangun nak."

Aditya berusaha mengembalikan kesadaran pada Nathaniel, namun tidak mendapat respon baik. Nathaniel hanya terus bergumam menyebut Sang Bunda. Aditya kalut, tanpa berpikir lama, ia segera menggendong Nathaniel membawanya kerumah sakit. Aditya sedikit berlari, berusaha secepat mungkin untuk membawa Nathaniel dengan segera.

"Buka pintunya!" pekik Aditya, menyuruh supir membukakan pintu mobil.

Sang Sopir yang sedang beristirahat karena baru saja mengantar Natahniel pulang, seketika terlonjak. Kemudian membuka pintu mobil tersebut dengan segera. Ia melihat tuannya menggendong Nathaniel dengan gelisah, bertanya-tanya, ada apa ini?

"Biar saya yang nyetir!"

Sang Sopir mengurungkan diri saat hendak masuk untuk membawa mobil tersebut. Setelah membaringkan Nathaniel dikursi belakang, Aditya segera melajukan mobil tersebut dengan kecepatan tinggi untuk sampai secepatnya pada Rumah Sakit. Syukurlah tidak banyak mobil yang masih berkendara, dikarenakan hari yang sudah larut.

Sesampainya dirumah sakit, Nathaniel langsung ditangani oleh dokter yang untungnya masih berjaga di malam itu. Aditya duduk bersandar pada kursi didepan ruang Nathaniel, menyikap rambutnya kebelakang penuh khawatir, sesekali Ia mengintip pada kaca kecil untuk melihat Nathaniel didalam.

Aditya mengusap-usap tangan gelisah, seraya meramalkan doa untuk kesembuhan Nathaniel. Entah mengapa, sudah tiga puluh menit belum ada tanda-tanda dokter maupun suster yang akan keluar. Lelaki itu mengusap wajahnya, raut wajah lelaki itu menjelaskan semuanya betapa khawatirnya ia saat ini, Bahkan kakinya sedari tadi terlihat gemetar seakan enggan untuk tenang.

Tak lama pintu ruangan Nathaniel terbuka, memunculkan dokter yang keluar dari dalam diikuti seorang suster dibelakangnya. Aditya sontak berdiri menatap cemas pada sang dokter disana, menoleh sebentar kearah pintu ruangan Nathaniel.

"Pasien mengalami demam tinggi, syukurlah Bapak membawanya dengan sesegera mungkin. Anak itu terlihat sangat kelelahan, staminanya menurun akhir-akhir ini. Sepertinya ada yang sedang sangat menggangu pikirannya." jelas Dokter itu.

"Dan ya, pasien terus saja bergumam menyebut Ibunya. Dimana ibunya? Kehadiran ibunya saat ini mungkin bisa membantu keadaan pasien. Pasien saat ini sedang tidur, karena pengaruh obat penenang yang saya berikan. Saya telah menyuntikkan vitamin pada infusnya, mungkin besok pagi pasien baru akan sadar."

Aditya mendengarkan semua yang diucapkan oleh Dokter tersebut tanpa terlewat, mendengar dengan seksama, kemudian mengangguk paham.

"Terima kasih dokter." ucap Aditya penuh rasa syukur, sedikit merasa lega, namun belum sepenuhnya.

Sang dokter lalu mengangguk, berlalu dari sana meninggalkan Aditya. Langkah kakinya kemudian berjalan kedepan ruang Nathaniel, tangannya bergerak memutar gagang, membuka pintu tersebut. Menampakkan Nathaniel yang terbaring diatas bangsal dengan mata terpejam damai. Aditya lalu menutup pintu perlahan dan menghampiri Nathaniel.

Tangan Aditya mengulur, mengusap kepala Nathaniel yang sedang tertidur dalam damai, bulir dari mata lelaki itu tiba-tiba saja menetes, merasa bersalah akan apa yang sedang terjadi pada Putranya. Tangannya lalu bergerak mendekatkan kursi pada bangsal Nathaniel, mendudukkan diri disana. Ia memegang tangan Nathaniel yang tertancap selang infus dengan kedua tangannya, mengusapnya lembut.
.
.
.

Nathaniel mengerjapkan matanya sesekali, merasa terusik dengan sinar pagi yang menembus jendela kamarnya. Kedua  matanya terbuka sempurna, Ia menatap sekeliling, merasa asing dengan tempat tersebut. Merasa tangannya tertahan, ia lalu menoleh mendapati sang Papa yang masih terlelap tanpa melepaskan genggaman pada tangannya.

Nathaniel mengerutkan dahi dalam, menyentuh keningnya merasakan pusing. seketika terlintas  kejadian kemarin malam, dimana Sang Papa yang masuk kekamarnya dan terlihat khawatir karena dirinya yang tak sadarkan diri dan berakhir dirumah sakit saat ini.

Aditya mengerjapkan mata, mendapati Nathaniel yang telah siuman. Senyumnya seketika mengembang, mengucapkan segala rasa syukur didalam hati. Nathaniel yang menyadari Sang Papa telah bangun seketika merasa canggung, mengalihkan pandangannya kearah jendela.

Hening menerpa keduanya, Aditya menghembuskan napas panjang, "Maafin Papa El."

"Papa minta maaf, maafin Papa."

Wajah lelaki itu sendu, berusaha menahan air matanya agar tak jatuh. Nathaniel menoleh pada Sang Papa, terbesit rasa bersalah dalam dirinya terhadap Aditya. Tiba-tiba Sang Papa meraih tangannya, menggenggam tangan tersebut erat.

"Jangan gini lagi ya Nak? Papa gamau liat Kamu sakit, Papa mohon." pinta Aditya.

Nathaniel memejamkan mata sejenak, Lalu menggeleng, "Enggak Pa, Papa ga salah. El yang seharusnya minta maaf sama Papa. Maafin Nathaniel Pa."

Nathaniel menundukkan kepala, tidak ingin bertatap muka dengan Sang Papa. Aditya lalu menyentuh dagu Nathaniel, membuat kepala itu kembali terangkat menatapnya. Kemudian berpindah mengusap surai Sang Putra yang menutupi matanya.

"Hei, Ga ada yang bilang kamu salah disini El. El berhak marah sama Papa, tapi Papa gasuka kalo kamu sampe nyiksa diri kaya gini."

"Jangan kaya gini lagi ya? Janji sama Papa."

Aditya memberikan jari kelingkingnya kearah Nathaniel, memintanya mengikat sebuah Janji disana. Nathaniel diam sejenak memandangi jari tersebut, kemudian menyatukan jari kelingkingnya pada Sang Papa dan mengangguk. Aditya tersenyum, ia pun memeluk Nathaniel erat. Seakan-akan tidak ingin kehilangan Nathaniel, Putra kesayangannya.

"Jangan pernah tinggalin Nathaniel ya Pa. El gamau kehilangan Papa." ucap Nathaniel disela pelukan tersebut.

Aditya mengangguk.

"Papa ga akan ninggalin Nathaniel, Papa janji." balas Aditya semakin mengeratkan pelukan tersebut begitupun sebaliknya.

"Nathaniel sayang Papa."

"Papa juga sayang sama El, Jagoan Papa."

~

7 tahun kemudian.

Bandung, 2016.

Nathaniel telah menduduki bangku sekolah menengah pertama awal. Diusianya kini yang menginjak usia ke-15 tahun, memang terbilang sedikit telat. Dikarenakan Nathaniel hiatus selama 2 tahun lamanya. Selama 2 tahun itu Nathaniel menghabiskan waktu bersama Sang Papa di Sydney, Australia. Itu adalah keputusan Aditya sendiri, yang dimana awalnya Nathaniel menolaknya dengan keras, Namun Aditya kekeh memaksa Nathaniel untuk pergi.

Semuanya berjalan dengan baik selama tujuh tahun terakhir. Nathaniel yang selalu terbuka pada Aditya begitu pun sebaliknya. Keduanya sama-sama saling melengkapi satu sama lain. Tidak terbesit sekalipun kejadian dimasa lalu, melupakan segalanya melanjutkan hidup.

Namun, semua kebahagian itu nyatanya tak bertahan lama.

Nathaniel mengira semuanya akan selalu baik-baik saja, tidak akan ada yang berubah ataupun bertambah diantara ia dan Sang Papa. Nathaniel merasa cukup dengan segalanya, merasa cukup dengan hanya ada dirinya dan Sang Papa.

Namun, takdir berkata lain. Semuanya berubah sekejap mata, saat setelah Aditya membawa sosok wanita disampingnya. Meminta izin pada dirinya, untuk menikahi wanita itu.

Flashback off.










Tbc.

Something that can't be TiedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang