Author pov.
Guru yang mengajar pada saat itu telah memasuki kelas. Kelas diawali dengan salam, lalu berdoa. Hari ini adalah pelajaran fisika yang dibimbing oleh Ibu Bena.
Setelah mendata kehadiran siswa, Ibu Bena memulai pelajaran. Satu kalimat, satu kalimat yang guru tersebut ucapkan membuat seluruh murid didalam kelas uring-uringan.
"Baik, untuk hari ini Ibu mau kalian berkelompok, dengan syarat 1 kelompok 3 orang." suara tegas itu terdengar sampai ketelinga siapapun yang berada dikelas, tanpa terlewat.
Kerja kelompok, adalah satu dari sekian banyaknya tugas yang paling dihindari oleh sebagian murid dikelas itu; dari yang susah memiliki kelompok, pilih-pilih, percirclean, dan banyak lagi. Banyak yang berharap kalau tugas kelompok kali ini akan dipilihkan langsung oleh Ibu Bena sendiri.
Namun lagi-lagi, satu kalimat. Satu kalimat yang keluar dari mulut Ibu Bena, mematahkan semua harapan itu.
"Buat anggota, silahkan kalian pilih sendiri. Dan ya! Jangan sampai Ibu dengar ada yang tidak memiliki kelompok!" tegas Ibu Bena, sedikit meninggikan suaranya.
Dikarenakan jumlah murid dikelas tersebut berjumlah 27 murid, itu artinya tidak akan ada yang kelebihan ataupun kekurangan anggota.
Arga dan Jenaka yang duduk bersampingan, saling menatap.
"Ini jadi sama Galang atau sama El?" tanya Jenaka pelan.
Arga sedikit merenung, "Kayanya Galang deh, yakali kita lebih milih Nathaniel, sedangkan Galang yang dibelakang kita, ga kita liat?" jelas Arga.
Jenaka mengangguk pelan, setuju. Kemudian memberikan sign 'oke' menggunakan tangannya. Lelaki itu lalu menoleh kebelakang diikuti Arga yang ikut menoleh, menatap Galang.
"Gal, lo bareng kita ya?" ucap Jenaka.
"Terus El? Gimana?" tanya Galang, lelaki itu merasa tidak enak kalo tidak mengajak Nathaniel ikut bergabung. Namun, apa boleh buat, keputusan Ibu Bena tidak mungkin untuk bisa diganggu gugat.
"Yaelah, pasti ngerti dia mah. Si El kan pinter, mana aja masuk dia." ceplos Jenaka.
"Nah iya." sahut Arga.
Galang kemudian mengangguk pelan, setuju.
Ketiganya lalu beralih pada satu sosok dipojok jendela; Nathaniel. Terlihat lelaki itu sangat santai, seraya melipat tangan didadanya, tak lupa wajah khas lelaki itu; datar.
Saat mendapati Galang, Arga dan Jenaka menoleh pada dirinya, Natahniel sudah menebak apa maksud mereka. Nathaniel hanya mengangguk santai, mengangkat jempol kirinya pada ketiga orang didepan sana. Dari kursinya Nathaniel mendapati ketiga temannya itu mengembangkan senyum mereka, dan berakhir ketiganya yang kembali pada posis awal; menghadap kedepan.
Menyadari ketiganya tak lagi menatap kearahnya, Nathaniel menghela napas berat. Entah dengan siapa ia akan berkelompok, pikir lelaki itu. Nathaniel kemudian menoleh pada gadis disampingnya itu, memperhatikannya.
Terlihat Alana yang berusaha mengkode pada kedua temannya didepan sana; Laura dan Rubi. Saat gadis itu ternotice oleh keduanya, Alana terlihat memajukan bibirnya, kecewa. Nathaniel yang mendapati itu, sontak mencari tahu alasan dari wajah kecewa tersebut.
Terlihat Rubi didepan sana seperti memberi kode, bahwa kelompok mereka telah pas, tidak bisa menambah anggota lagi. Laura dan Rubi awalnya sudah mengiming-ngiming kalo mereka akan satu kelompok; Rubi, Alana dan Laura. Namun tiba-tiba saja gadis yang duduk tepat dibelakang Rubi, memintaya untuk bergabung. Laura dan Rubi merasa tidak enak untuk menolak hal itu, takut seakan-akan mereka pilih-memilih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Something that can't be Tied
Teen Fiction[SELESAI] "Kita memang dipertemukan oleh semesta. Namun semesta juga lah, yang tak membiarkan kita untuk bersama.." -Alana Aurellia . . . "Nathaniel, kita.."