[CHAPTER 6] Terlambat

378 358 172
                                    

“Mereka benar. Penyesalan selalu datang terlambat.”

*****

    Kedua kakinya bergerak di tempat. Mengusir rasa bosan. "Ish! Kapan datangnya sih?!" gerutunya sebal. Genap sudah satu jam Ayana menunggu kedatangan dia—seseorang yang mengutus si pembawa hadiah.

    Suasana taman belakang sekolah kini sepi. Sangat sepi, tepatnya. Tentu saja, memangnya untuk apa mereka datang ke tempat yang jarang di tempati tersebut? Terlebih ini sudah satu jam sejak dibunyikannya bel pulang sekolah.

    Lelah menunggu lebih lama dari ini, Ayana bangkit berdiri. Keputusannya sudah bulat. Dia tak ingin menunggu lagi. Dan besok ia harus menagih imbalannya. "Ah, harusnya gue gak percaya sama cowok asing itu!"

    Namun baru saja Ayana berbalik. Iris matanya menemukan seorang pemuda berdiri beberapa meter dari tempatnya duduk. Adam? sebutnya memanggil nama si lelaki. Bibirnya terlalu kaku sekadar menyebut nama itu. Nama yang telah ia kubur lama. Nama yang takkan ia gemakan lagi. Nama yang membuat dugaannya menjadi kenyataan.

    Lelaki itu berjalan mendekati Ayana yang membatu. "Boleh kenalan, gak?" Tangannya terulur. Hal yang biasa dilakukan orang-orang ketika berkenalan.

    "Kenapa kamu di sini?" Susah payah Ayana mengeluarkan kata-kata itu. Menyingkirkan dugaan yang enggan ia akui.

    "Adam Dhiafakri Pradipta. Panggil aja Adam," ujar si lelaki tidak mengindahkan pertanyaan si gadis. Tangannya pun masih terulur. "Kamu?"

    Ayana menarik napas. Melirik ragu ke uluran tangan Adam. "Ayana Reveira Iskandar. Biasa dipanggil Ayana."

    Adam menarik uluran tangannya yang tak disambut baik si gadis.

    "Udah, kan?" Nada suaranya ketus, seakan berbicara dengan Adam termasuk ke daftar hal yang wajib dihindarinya.

    "Kalau aku panggil Ira, gak apa-apa, kan?" cetus Adam. Pandangannya lurus di satu arah. Memandang mata gadis yang dirindukannya.

    Mendengar panggilan itu keluar lagi Ayana diam tanpa kata. Sistem kerja indranya mengalami hambatan. Mencerna baik-baik setiap huruf di kalimatnya.

    "Aku anggap iya," putus Adam. "Kalau kamu nggak keberatan, aku boleh minta waktu kamu sebentar?" Ini adalah kesempatannya untuk memperbaiki hubungan mereka.

    "Maaf, tapi aku harus pergi. Ini salah kamu karena kamu datang terlambat." Ayana melengos pergi. Entah harus sampai kapan ia dapat mengubah panggilannya kepada lelaki itu. Aku-kamu. Panggilan itu melekat kuat di benak keduanya.

    "Karena keterlambatan aku juga, kamu pergi tanpa pamit," lirih Adam.

    Ayana spontan berhenti berjalan. Berat rasanya untuk melanjutkan langkah.

    Adam berbalik. "Selalu seperti itu, bahkan sekarang pun kamu pergi tanpa pamit."

    "Kita gak ada urusan lain selain kamu yang pengen kenal sama aku. Dan itu udah selesai. Jadi kita gak perlu ketemu lagi," tukas Ayana tegas. Memberanikan diri menatap balik lawan bicaranya.

    "Aku pengen kenal kamu lebih jauh. Sama kayak dulu lagi," tutur Adam serius.

    "Nggak ada lagi yang sama kayak dulu!" bantah Ayana agak berteriak. "Harusnya kamu ngerti kenapa aku ngelakuin ini semua! Aku pergi bukan karena keinginan aku! Aku pengen semuanya kembali normal!" jelas Ayana menahan air mata yang siap meluncur kapan saja.

    Lelaki itu menatap kepergian Ayana yang terburu-buru. Tidak ada niatan baginya menahan kepergian gadis yang telah lama menetap di pikiran. Tak apa dia tidak menyesalinya, karena ia tahu Ayana tidak akan pernah mau berada di satu tempat yang sama dengannya. Toh, ia merasa lebih baik hanya dengan melihat punggung gadis-nya selama satu jam lamanya.

FLASHBACK [COMPLETED]Where stories live. Discover now