[CHAPTER 16] To Be Unseen

182 172 75
                                    

“Satu-satunya keahlianku adalah mengindarimu yang kerap mengikis jarak.”

*****

    Anak perempuan berseragam SMA itu berlari secepat yang ia mampu. Yang dibutuhkannya adalah tempat persembunyian. Tempat yang aman dan tak bisa ditemukan oleh orang itu.

    Dibukanya pintu ruangan tersebut. Sosok yang berada di dalam ruangan itu menatap aneh dirinya. Si gadis yang berlari tadi mengisyaratkan padanya itu untuk diam, menutup mulut. Setelahnya, si gadis duduk selonjoran di balik sofa berdebu yang lama tak terpakai.

    Sedetik setelahnya, pintu itu kembali terbuka. Dan memperlihatkan sang pelaku pengejaran si gadis. Matanya memutar mengelilingi seisi ruangan. Senyum samarnya terlihat walau kecil. Sekalinya ceroboh, gadis itu tidak pernah berubah, benaknya menatap ujung sepatu seseorang yang bersembunyi di balik sofa.

    "Maaf, ada yang bisa—"

    "Lo punya kertas sama balpoint?"

    Kepalanya mengangguk kecil. Menyerahkan selembar kertas dan balpoint ke lelaki yang ia ketahui merupakan Kakak kelasnya. Dia memperhatikan setiap gerakan tangan si lelaki yang mulai melipat kertas pemberiannya yang berubah bentuk menjadi sebuah burung.

    Lelaki itu menyerahkan hasil karyanya padanya seraya mengisyaratkan sesuatu. Sesudahnya, melangkah pergi begitu saja.

    Mendengar suara pintu yang tertutup, gadis yang bersembunyi tadi keluar dari tempat persembunyiannya. Bernapas lega ketika hanya ada seorang anak perempuan. Ayana–gadis yang berhasil melarikan diri dari kejaran lelaki tadi–tersenyum tidak enak pada si penjaga ruangan. "Maaf ya," ujarnya pelan.

    Dia mengangguk. "Nggak apa-apa, kok, Kak. Oh iya, Kakak yang tadi ngasih ini buat Kakak."

    Ayana mengambilnya. Memang sebelum lelaki itu benar-benar pergi, Ayana sempat mendengar samar dia meminta sesuatu kepada Adik kelasnya itu.

    Aku tunggu sepulang sekolah. Itu pun kalau kamu mau sepatu kamu balik lagi.

    Dahi Ayana mengerut. Dia menundukkan kepala ke bawah. Matanya membelalak terkejut, melihat sepatunya hanya tinggal sebelah. Ia merutuki kecerobohannya yang muncul di waktu yang sangat tidak tepat. Ceroboh! Ayana ceroboh!

    "Kalau Kakak mau, aku punya sepatu yang—"

    "Nggak usah!" sela Ayana cepat. Ayana memperhatikan keadaan di sekelilingnya, sepi. "Emm, kamu sendirian di sini? Teman-teman kamu ke mana?"

    Gadis itu tersenyum canggung. "Anu, itu sebenarnya aku—" Gadis itu terdiam bingung harus menjawab apa.

    Senyum ramah Ayana terbit di paras cantiknya. "By the way, nama Kakak Ayana. Kamu?" Ia tahu mungkin tidak seharusnya ia membahasnya. Karena ia tahu bagaimana rasanya. Di anggap tiada padahal ada.

    "Devia Daniswara."

    "Kamu anak Jurnal?"

    Devia mengangguk kecil. "Iya, aku anak Jurnal."

    Ayana manggut-manggut. "Tunggu! Siapa nama kamu tadi?"

    "Devia," ulang Devia.

    Ayana rasa pernah mendengar nama itu. Tapi kapan? "Oh! Kamu Ketua club Jurnalistik, ya kan?" tuding Ayana. Sepertinya virus heboh Tiara telah menular kepada Ayana.

    Devia menampilkan senyum tipis seraya mengangguk. Selama ini, tidak ada orang yang menganggapnya “benar-benar” Ketua club Jurnalistik. Alasannya? Mudah saja. Umur. Menurut anggota lain–yang merupakan anak-anak kelas XI, umumnya–Devia tidak cukup layak untuk memimpin club tersebut. Maka wajar ia senang mendengar Kakak kelasnya itu menyebutnya sebagai Ketua club Jurnalistik.

FLASHBACK [COMPLETED]Where stories live. Discover now