Bab 3. Kutukan Nyai Sutinah

17 9 11
                                    

***

"Kau terlambat, Nak!" Tubuh Farhan menggigil saat melihat mata merah Nyai Sutinah yang terbuka lebar.

Seketika tulang-tulang kakinya lemas hingga tak sadar ia menjatuhkan dirinya ke tanah. Wujud Nyai Sutinah yang berada di atas pohon randu sangat menyeramkan. Ia bahkan hampir lupa bernapas karena udara dingin yang membekukan tulang.

"Kau terlambat, Nak! Wanita ini sudah menjual jiwanya padaku! Ha ha ha ha," suara serak melengking keluar dari mulut Nyai Sutinah semakin membuat jantung Farhan berdetak kencang.

"KALIAN! Kalian akan merasakan akibatnya! Semua yang terlibat dengan kematian Genta tak akan kuampuni! Aku mengutuk desa ini! Desa ini akan menjadi desa mati!" Kembali suara serak dengan deraman binatang keluar dari mulut Nyai Sutinah. Rambut hitam legamnya berdiri, kuku-kukunya memanjang dengan ujung menghitam. Mata yang semerah darah menatap warga desa yang melihatnya dari bawah pohon.

"Iblis ...." desis tanpa sadar salah satu warga desa.

Kepala Nyai Sutinah menoleh, bergerak 180 derajat dengan cara yang aneh menatap warga yang berbisik itu. Senyum dingin membayang di wajah Nyai Sutinah.

"Iblis? Jangan sok suci, Kalian! Ya! Akulah sang Iblis! Kalian tidak lebih baik dariku! Orang-orang yang buta mata hati dan nuraninya! Kalian jauh lebih bejat dari pada aku! Kya ha ha ha!" Tawa nyaring melengking memecah malam di bawah kaki gunung semeru.

Orang-orang yang berada di tempat itu seakan-akan terpana menyaksikan Nyai Sutinah yang kini berwujud iblis perempuan. Jangankan untuk berlari, kaki-kaki mereka terpaku ke bumi tak bisa digerakkan.

Deraman kembali terdengar dari mulut Nyai Sutinah. Dengan gemulai Nyai Sutinah membuka kain kemben yang melilit pinggangnya. Kain kemben yang terbuat dari kain lilit panjang itu ia ikatkan pada dahan pohon randu yang berada di atas kepalanya.

Farhan yang melihat semua adegan itu dengan terpana. Tak sedikitpun ia mampu mengalihkan pandangan, gerakan Nyai Sutinah seperi gerakan lambat yang begitu memesona.

Dengan senyum miring Nyai Sutinah mengikatkan kain panjang itu ke lehernya sendiri.

"T-tidak! J-jangan lakukan itu, Bu!" ucap Farhan dengan terbata. Suaranya tercekat, begitu susah untuk berkata.

Nyai Sutinah yang mendengar ucapan Farhan menoleh dan tersenyum.

"Kau memiliki hati yang baik, Nak. Sayangnya orang-orang di sini tak ada yang memiliki hati sepertimu. MEREKA SEMUA BERHATI BINATANG!" Nyai Sutinah menatap tajam pad apara warga yang masih terpaku di belakang Farhan.

"J-jangan, Bu–"

"Jiwa dan raga wanita ini sudah menjadi milikku!" geram sosok yang berada di tubuh Nyai Sutinah.

Setelah berkata demikian, Nyai Sutinah melompat turun dari dahan dengan leher tergantung kain panjang.

"Tidak!"

Pekik tertahan terlontar dari mulut warga desa seiring derak dahan pohon randu yang berayun memaikan tubuh malang Nyai Sutinah.

Tubuh wanita malang itu berkelonjotan sesaat, lalu diam selamanya dengan mata terbeliak dan lidah terjulur keluar. Nyai Sutinah mati.

Seiring tubuh Nyai Sutinah berayun-ayun, ratusan burung gagak terbang mengelilingi pohon randu itu. Mereka mengitari tubuh Nyai Sutinah. Serentak mereka meluncur menusuk tubuh Nyai Sutinah dari segala arah.

Burung-burung gagak itu dengan rakus melahap daging di tubuh Nyai Sutinah. Mereka membungkus tubuh wanita itu hingga hanya menampakkan mata yang tetap terbelalak.

Farhan terpaku menatap mata Nyai Sutinah yang membelalak padanya. Ia tak bisa bergerak, pandangan mata Nyai Sutinah seakan-akan memaku tubuhnya, menghipnotisnya untuk tetap menatap mata yang tak memiliki cahaya itu terus-menerus.

Sebuah gelang manik-manik terjatuh dari genggaman Nyai Sutinah. Gelang itu jatuh tepat di hadapan Farhan, titik-titik darah membasahi gelang itu. Darah hitam dengan bau busuk yang memualkan itu terus mengucur dari kedua paha Nyai Sutinah. Darah itu mengalir, menganak sungai seakan-akan tak terbendung. Meluncur cepat ke arah Farhan yang terpaku.

Jasad Nyai Sutinah digerogoti burung gagak hingga tak menyisakan apapun selain tulang tengkorang yang tergantung kain panjang.

Farhan masih terus menatap mata Nyai Sutinah yang kini hanya berupa rongga hitam, hingga sebuah teriakan dan tepukan di bahu menyadarkannya kembali.

"Farhan!"

Farhan menggeleng keras, kepalanya berdentam hebat. Ia menoleh melihat wajah ayahnya yang terlihat pucat. Setelah itu kegelapan yang melingkupi dirinya.

"Ayah...."

***
Saat terbangun pada ketiga  hari berikutnya, Farhan lekas mendatangi lokasi kejadian semalam. Anehnya, kerangka tubuh Nyai Sutinah sudah tidak ada. Hanya menyisakan kain panjang yang mengikat lehernya saat itu. Tak ada yang tahu siapa yang menurunkan atau mengambil kerangka Nyai Sutinah tersebut.

Desa Farhan tak lagi seperti biasa semenjak kejadian itu. Setiap malam merupakan teror bagi warga desa. Lolongan menyayat hati dari arah tambang tua kerap terdengar. Warga desa tak berani lagi keluar malam walau sekedar minum kopi di kedai seperti biasa.

Lolongan dan tangisan itu diyakini milik Nyai Sutinah, banyak yang berpendapat arwahnya tak tenang karena kematiannya setelah melakukan ritual perjanjian dengan iblis penguasa hutan gunung semeru.

Terlebih, tak ada yang berani memakamkan kerangkanya dan jasad Genta dengan layak. Mereka akhirnya membiarkan tubuh Nyai Sutinah dan Genta di tempat itu.

Warga desa mulai tidak betah, hingga satu persatu mereka memboyong keluarga dan berpindah ke desa lain. Apalagi beberapa warga desa menghilang secara misterius dan tewas dengan cara yang ganjil. Warga desa menjadi ketakutan dan memilih untuk pergi meninggalkan semua asetnya di desa itu.

Tak terkecuali Farhan. Ayah membawanya beserta keluarga berpindah ke ibu kota Jakarta. Jauh dari desa. Mencoba untuk melupakan peristiwa kelam yang terjadi.

Sejak saat itu, desa Farhan menjadi desa yang tak berpenghuni. Namun, suara lolongan dan tangisan perempuan masih kerap terdengar seperti ucapan para pendaki yang ingin naik ke puncak gunung Semeru.

Desa itu menjadi desa mati. Sunyi, senyap, hening dengan hawa dingin yang menyesakkan dada. Seakan-akan menunggu waktu untuk kembali datang membawa prahara. Kehidupan penghuni desa dahulu kembali berjalan dengan normal di tempat lain. Selama bertahun-tahun mereka seakan-akan melupakan tentang Nyai Sutinah dan Genta.

Begitupun keluarga Farhan, mereka mencoba menata kembali kehidupan di tempat yang baru. Farhan dengan bantuan psikiater akhirnya kembali bisa kembali menjalani kehidupan normal. Walaupun ingatan itu masih saja berbekas.

Farhan tak pernah lagi mengetahui kabar kawan-kawannya yang dulu bermain petak umpet. Hingga suatu ketika di masa lima belas tahun setelahnya sebuah pesan mengejutkan Farhan. Kenangan buruk masa kecilnya akhirnya kembali mencuat ke permukaan.

Entah mengapa hati kecil Farhan berkata, mungkin inilah saatnya. Saat yang telah ditentukan oleh Nyai Sutinah untuk meminta keadilan bagi Genta, anaknya.

"Ini aku, Radit."

Bersambung

Hide and Seek (Petak Umpet)Where stories live. Discover now