Bab 11. Ki Anjar

2 2 0
                                    

***

Farhan akhirnya bernapas lega saat mobil yang membawanya berhenti. Ia turun untuk meregangkan tubuh yang hampir empat jam tertekuk di dalam mobil. Ia diikuti oleh Radit dan Arum.

Sebuah palang besar di pintu gerbang desa  menyilang di hadapan mereka.

"Kayaknya perjalanan kita hanya sampai di tempat ini saja, Farhan," ujar Radit memperhayikan palang yang seakan-akan telah berusia belasan tahun berada di sana.

"Lalu, bagaimana kita bisa mendapat informasi tentang Nyai Sutinah?" tanya Arum.

Farhan dan Radit saling berpandangan. Mereka sendiri tak mengetahui jawaban dari pertanyaan itu. Farhan sendiri hampir 20 tahun lamanya tidak pernah kembali sejak peristiwa yang menimpa Genta.

Di tengah kebingungan melanda mereka tiba-tiba dari arah semak belukar seseorang dengan pakaian khas pekebun berjalan ke arah mereka. Di bahunya terlampir rumput untuk pakan sapi.

"Maaf, Pak. Mau tanya jalur ke arah desa Arjosari lewat mana, ya?" tanya Farhan dengan sopan saat lelaki tua itu telah berada di dekat mereka berdiri.

"Desa Arjosari?"

Lelaki tua itu sedikit berjengit saat mendengar pertanyaan Farhan.

"Iya, Pak. Kami ada keperluan di desa itu. Kalau boleh tau apa ada jalur lain untuk bisa sampai ke desa itu?" Lanjut Farhan.

Lelaki tua itu memandang aneh ke arah tiga orang di hadapannya. Dia seakan-akan menilai dari tampilan ke tiga penanya.

"Kalian ada keperluan apa? Desa itu telah hancur karena debu gunung Semeru. Semua penduduk sudah menyingkir dan tidak ada lagi di sana!" sahut lelaki itu sedikit menggertak.

Farhan dan Radit yang mendengar penjelasan itu semakin bingung. Mereka tentu tak ingin kembali ke Jakarta tanpa mendapatkan hasil yang berarti.

"Apa bapak tahu di mana saya bisa bertemu dengan warga yang pernah tinggal di desa Arjosari?" tanya Radit. Ia melangkah ke hadapan lelaki tua itu.

"Ada satu, Ki Anjar, dia tinggal di desa Kromo, sebelah gunung ini. Jika kalian ingin bertemu, sebaiknya bergegas sebelum malam. Hutan di sini tidak ramah, apalagi dengan orang pendatang seperti kalian!" Lelaki itu berkata dengan tegas. Matanya mendelik tidak suka. Ia segera berlalu dan bergegas pergi tanpa permisi.

Bulu kuduk ketiga orang itu meremang saat mendengar ucapan si lelaki tua itu. Mereka memandang berkeliling dan baru menyadari rupanya mereka berada di tengah hutan lebat. Kabut mulai turun padahal jam baru menunjukkan pukul tiga sore. Rimbunnya pepohonan membuat suasana sore berubah menjadi malam. Bunyi serangga dan kepakan sayap burung malam mulai terdengar, dan itu sangat menyeramkan.

Farhan dan kedua temannya kembali ke mobil dengan tergesa. Mereka berencana menemui ki Anjar seperti yang disarankan oleh lelaki tua tadi. Setidaknya ada sedikit harapan untuk mengetahui asal isul Nyai Sutinah.

Perlahan-lahan mobil mereka menapaki jalur tanah yang sedikit menanjak. Akhirnya setelah hampir enam puluh menit, mobil mereka memasuki sebuah kawasan desa. Di tugu selamat datang tersemat nama desa Kromo. Desa yang mereka tuju.

Setelah beberapa kali bertanya pada warga desa tentang ki Anjar. Akhirnya mereka menemukan tempat tinggal lelaki itu. Mobil Farhan akhirnya tiba di pinggir desa sebelah barat. Tepat di sebuah pondok sederhana yang kurang terawat. Semak belukar banyak menghiasi halaman pondok itu. Mereka sendiri tak yakin jika pondok itu dihuni oleh seseorang.

Mereka turun dari mobil dan berdiri di hadapan pondok yang sedikit miring itu. Mereka saling bertukar pandangan, di benak mereka terpaku pertanyaan apa benar ada seseorang di dalam sana?

Hide and Seek (Petak Umpet)Where stories live. Discover now