Paman Melihat Dewandaru

1.2K 50 0
                                    


Dinikahi Siluman Ular
Bab 4 : Paman Melihat Dewandaru

"Bibi ... Itu ... " Aruna kebingungan untuk memberikan penjelasan.

"Kamu punya banyak buah-buahan! tapi kenapa nggak berbagi sama bibi! kamu malah menyembunyikan buah-buahan di kamar kamu sendiri, ini pasti untuk di makan sendiri!? dasar serakah! anak gak tau diri! udah untung diurus gratis, malah nyembunyiin makanan untuk diri sendiri!" omel sang bibi, mengulang kata menyembunyikan buah-buahan.

Buah-buahan? pikiran Aruna bertanya-tanya keheranan. Kepalanya menunduk. Apakah bibinya salah lihat?

Sedangkan bibinya menghempaskan tangan pada tubuh Aruna. Setengah mendorong tubuh gadis itu.

"Minggir!" titahnya seraya melangkahkan kaki menuju ke belakang sang gadis yang kebingungan.

Dengan perlahan dan rasa was-was, Aruna pun menoleh kearah ke arah belakang. Kosong! selain ada buah-buahan yang begitu banyak di diatas ranjangnya.

Sungguh ajaib! Aruna pun celingukan melihat ke arah sekitar, tak ada Dewandaru atau siapapun. Syukurlah, batinnya plong, membuat dirinya menghembuskan napas panjang lega.

Sedangkan bibinya merapikan buah-buahan yang cukup banyak, yang saat ini tersusun rapi di ranjang aruna. 

"Bawain ini sekamar bibi! masukin separuh ke kulkas! separuhnya untuk kamu! Jangan serakah kamu!" tuduhnya lagi.

Aruna hanya mengangguk patuh, sedangkan pikirannya masih melayang-layang, bertanya di mana saat ini keberadaan Dewandaru, dan sejak kapan di kamarnya ada buah-buahan sebanyak itu.

"Habis itu masak! jangan cuma diam diri di kamar! kamu itu bukan nyonya, tahu diri dong!" tegurnya sinis. Ucapannya tak terdengar jelas akibat di mulutnya penuh dengan kunyahan makanan.

"Iya, Bi," jawab Aruna pasrah. Sedikitpun tak mampu untuk melawan. Andai dirinya sudah lulus SMA, lalu kuliah, sudah pasti dirinya bisa bekerja paruh waktu lalu menyewa kostan murah. Tak masalah jika cuma satu kamar saja. Yang penting dirinya terlepas dari bibinya. Mandiri.

***

Di dapur ....

Aruna menghembuskan napas panjang saat melihat cincin di jari manisnya, cincin yang sulit dilepaskannya. benarkah dirinya sudah menikah? makhluk macam apa yang mengajaknya menikah?

Saat fokus memasak dan pikirannya melayang, Aruna mengerjap kaget saat sebuah tangan menyentuh pucuk kepalanya, "Paman!" sahutnya seraya menghempaskan tangan pamannya yang bernama Dudung.

Kaget, dikiranya itu adalah tangan Dewandaru.

"Ngelamunin apa, cantik?" sapanya menyeringai.

"Masak!" jawab Aruna ketus. Ini bukan kali pertamanya dirinya mendapatkan perlakuan yang tak senonoh dari pamannya. Sang paman memiliki watak yang mesum padanya. Terutama di belakang semua orang. Mungkin karena merasa tak memiliki darah dengan Aruna. Karena keluarga Aruna yang sesungguhnya adalah bibinya, Nok. Itu pun beda ayah dengan ibunya.

"Cantik-cantik kok judes. Tapi, calon istriku kalau lagi judes gitu makin gemes, deh," goda sang paman.

Calon istri? Amit-amit. Dasar tua-tua keladi. Batinnya mengutuk. Namun, tak berani mengungkapkan isi pikirannya.

Aruna tak menggubris perkataan pamannya. Fokus pada masakan yang hendak di sajikan.
Namun, wajahnya semakin judes dan cemberut, menampilkan betapa tak suka dirinya berhadapan dengan pamannya.

"Paman, Aruna sedang masak, jadi tolong jangan ganggu," pintanya masam.

"Ikh, siapa juga yang mau ganggu. Paman justru mau bantuin kamu. Makanya kamu jangan judes gitu, nanti cantiknya ilang," godanya lagi.
Tangannya lagi-lagi hendak menyentuh Aruna.

"Paman!" protes Aruna menangkis tangan pamannya. Sebal dan benci. Namun juga tak berdaya. Andai dirinya memiliki orang tua. Mungkin takkan pernah terjadi hal yang tak menyenangkan seperti saat ini.

Nekad, pamannya justru mendekati tubuh Aruna dan berniat untuk mengecup gadis itu.

Benar-benar pria yang lancang.

"Akh!" Aruna menjerit ketakutan. Ia pun berlari keluar dari dapur. Menghindari sang paman yang tak beradab.

"Aruna! Tunggu!" sahut Dudung seraya berlari hendak mengejar gadis itu.
Takut jika gadis itu melaporkan tindakannya pada Nok, istrinya.

Tanpa diduga, tubuh pamannya terangkat dari lantai. Dudung pun terkejut dengan apa yang terjadi. Sedangkan Aruna secepatnya memasuki kamarnya.

"Hah? Ada apa ini?" tanya Dudung keheranan. Wajahnya celingukan mencari tahu apa yang membuat dirinya mengapung ke atas beberapa puluh centimeter.

Dudung tercengang menoleh ke arah belakangnya. Didapatinya seorang pria bertubuh kekar, berambut lurus dan panjang, dan penuh kharisma yang ternyata, pria tersebutlah yang membuat tubuh Dudung terangkat. Kedua bola mata sang pria menyala terang. Ada aura dingin yang ditampilkannya.

"Heh! Apa-apaan ini! Turunkan aku!" titahnya seraya menggapai-gapai tangan kokoh pria aneh tersebut.

"Dasar manusia kurang ajar! Berani-beraninya menggoda istriku!" umpat Dewandaru dingin. Emosi dengan sikap pria dewasa itu.

"Ampun! ampun! kamu siapa? setan dari mana?" Dudung berteriak membuat Aruna yang tengah menguping di balik pintu kamarnya terdiam sejenak. Bertanya-tanya apa yang terjadi dengan pamannya.

"Setan?" Aruna menempelkan daun telinganya pada pintu. Siapa yang dimaksud oleh pamannya? Mana ada pagi hari setan yang terlihat.

"Ampun! ampun jurig! Turunkan aku jurig!" teriak sang paman ketakutan.

Penasaran dengan umpatan pamannya tentang jurig, Aruna pun berlari menghampiri arah suara pamannya. Ada sebuah kecurigaan yang mungkin terjadi sesuatu pada pamannya. Mungkinkah itu ...

Benar saja, mata Aruna membulat ketika tubuh sang paman berada di atas mengapung, tidak menginjak lantai. Namun kali ini, posisinya cukup ekstrim. Karena Dewandaru mengangkat leher Dudung yang saat ini hampir tercekik.

"Paman!" sahut Aruna berteriak terkejut.
Tak menyangka bahwa pria itu mereka berbuat sesuatu pada pamannya. Apakah Dewandaru, melihat tindakan pamannya, terhadap dirinya?

"Om! Turunin paman aku! Ntar dia mati!"

Pinta Aruna berteriak. Meskipun benci dan tak menyukai pamannya, namun Aruna juga tak ingin menjadi penyebab kematian pamannya. Meski mungkin tak secara langsung.

"Om! Turunin dia, Om!" Aruna memegangi lengan Dewandaru.

Namun pria itu tak menggubris permintaan dari wanita yang dicintainya. Terlanjur kesal atas sikap yang tak senonoh, dari Dudung untuk Aruna.

"Om, please, lepasin paman aku!"

Bujuknya memelas, dengan wajah yang dipenuhi kecemasan dan kekhawatiran. Tak terbayangkan jika paman yang mati hari ini. Bagaimana dengan nasib bibinya? Bagaimana juga dengan nasib sepupunya?

Dewandaru pun menoleh ke arah Aruna yang terlihat cemas, seketika cahaya merah dimata Dewandaru pun meredup kembali. Pria itu merasa tak kuasa saat melihat kesedihan dirawat wajah istrinya.

Perlahan tapi pasti amarahnya pun mereda, hingga cengkraman tangannya pun mengendur dan refleks melepaskan leher pamannya.

Dudung pun terjatuh hingga terbatuk-batuk.

"Dia sudah berbuat tak senonoh pada Nyimas," ucap Dewandaru mengungkapkan alasan pria itu berbuat sesuatu pada sang paman.

Aruna mengangguk pelan, air matanya pun luruh menyusuri pipinya, "itu sudah biasa terjadi," balas Aruna serak. Untuk pertama kalinya Aruna merasakan ada seseorang yang membela dirinya. Tersanjung.

Dewandaru menatap nanar pada gadis yang terlihat sendu di wajahnya. Raut ketidakberdayaan. Terenyuh. Karena biasanya wajah gadis itu judes dan cuek.

"Dasar jurig!" umpat Dudung kesal, membuyarkan keheningan di antara mereka.

"Kalian pasti sekongkol untuk bunuh aku!" tuduhnya lagi.

Aruna ketakutan karena kepergok pamannya yang dianggapnya bersatu melawannya. Pasti itu yang dipikirkan oleh sang paman.

"Kita ketauan, Om!" ucap Aruna pasrah.

Bersambung ...

Stamplat Garut perbatasan, 21 November 2021.












Dinikahi Siluman UlarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang