Cie, yang jealous

747 39 0
                                    

Bab 11 : Cie, yang jealous.




"Dewandaru? heh Aruna! Sembarangan kamu manggil orang! Itu Pak Dewan! Guru baru kita! Gak sopan banget manggil orang dengan keseluruhan. Apalagi manggilnya tanpa sebutan 'Pak' dasar anak gak sopan!" protes Sinta mencari empati dari guru barunya tersebut ingin dilihat bahwa dia adalah siswi yang lebih sopan ketimbang Aruna.

Nahasnya, Dewandaru terlihat acuh dengan hal itu. Bersikap salah dirinya tak peduli kepada Aruna.

"Selamat pagi anak-anak. Saya ingin memperkenalkan diri, nama saya Dewandaru. panggil saja Bapak Dewan," Dewandaru memperkenalkan dirinya.

"Pak! Boleh kita nanya nggak?" yang lain menimpali. Tepatnya menggoda sang guru baru.

"Silakan," jawab jawab Dewandaru tersenyum ramah. Terlihat cool dan anggun.

"Bapak udah nikah belum? Udah punya calon belum nih?" dengan berani seorang siswi bertanya. Sontak membuat yang lain tertawa dan terkekeh, hanya Aruna yang terdiam kecut. "cie," sebagian menimpali sang penanya.

"Ya kan, kali aja masih single, barangkali aja kita ada jodoh. Ya nggak Pak!?" seru yang lain.

Dewandaru hanya tersenyum menanggapinya. "Itu bukan soal yang harus saya jawab," elaknya.

"Jawab Pak, biar kita gak berasa di PHP-in," seseorang mendukung permintaan jawaban dari Dewandaru.

Aruna tersenyum masam dengan pertanyaan nyeleneh yang dilontarkan oleh teman-teman sekelasnya dengan tujuan menggoda Dewandaru. Kedua bola matanya mendelik kesal tanpa disadarinya tangannya mengepal keras.

"Cie yang jealous," bisik Durespati menggodanya.

Aruna menggeleng cepat dengan ucapan Durespati. Benarkah dirinya cemburu?

Pembelajaran pun dimulai Aruna tampak fokus menyimak pelajaran. Sedangkan Dewandaru terlihat cerdas menerangkan pelajaran dengan baik. Pertanyaannya satu, Dewandaru kuliah dimana? Kapan? Lulusan apa? Kok tiba-tiba bisa jadi guru?

Dan, hal yang ingin Aruna tanyakan pada pria itu. Bagaimana bisa Dewandaru yang kuno dan ndeso itu, menjadi seorang guru? dan apa tujuan Dewandaru menjadi guru? apa karena kurang kerjaan? Pikiran Aruna mengembara mencari jawaban.

Bel pun berbunyi, tanda tibanya waktu istirahat. Hampir semua murid pun keluar untuk jam istirahat termasuk Aruna.

"Makan yuk!" ajak Durespati merangkul pundak Aruna. Sejenak, gadis itu terdiam, akhir-akhir ini memang dirinya kurang bernafsu untuk makan. Tapi entah kenapa, hari ini, dirinya merasakan kembali rasa lapar.
Mungkinkah ada sesuatu hal yang terjadi? yang membuat rasa laparnya menghilangkan.

"Ayo!" ajaknya lagi. Aruna pun mengangguk setuju. Keduanya pun memasuki kantin. Terlihat asik dengan makanannya sendiri.

"Jadi, gimana nih melihat perkembangan sepupu aku?" Durespati menaik-turunkan kedua alisnya.

"Gak gimana-gimana," Aruna asal menjawab. Rasanya dia enggan mengomentari apa yang terjadi dengan pria itu. Sedikit merasa dibohongi. Bukankah Dewandaru akan pergi selama empat puluh hari? Lalu, kenapa secepat itu ia kembali. Parahnya, ia kembali bukan pada Aruna. Tapi ke sekolahnya.

"Maksud aku, suka gak ngelihat dia dengan versi dunia manusia?" Durespati mencari kekaguman pada diri Aruna untuk Dewandaru. Ternyata, Aruna cukup pandai dalam menyembunyikan perasaannya.

"Oh. B aja," tanggapannya benar-benar datar, tetap konsisten menyembunyikan sesuatu di dalam hatinya. Entahlah, Aruna juga tak paham apa yang saat ini dirasakannya.

"Yakin?" Durespati menyelidik. Aruna tak menjawab.

"Jawab!" Durespati penasaran dengan jawaban dari Aruna. Bahkan tangannya pun memegangi tangan Aruna.

"Gak penting banget jawab pertanyaan kayak gitu, udah akh, makan!" Gadis itu benar-benar kehilangan mood ketika memikirkan Dewandaru yang berubah.

Benarkah Aruna tak suka perubahan gaya Dewandaru? Bukankah dengan perubahan itu, ia tak lagi terlihat kuno dan ndeso? Atau Aruna gak suka dengan perubahan sikap Dewandaru yang terlihat acuh padanya?

"Hai ... boleh Bapak, duduk di sini? Boleh gak saya gabung dengan kalian?" Dewandaru menghampiri meja Aruna dan Durespati dengan nampan berisi makanan dan minumannya.

Durespati tersenyum, "duduk aja Pak," jawabnya tersenyum ramah. Mereka  bersikap seolah keduanya tak saling kenal.

Sedangkan Aruna mengedarkan pandangannya ke arah lain. Ingin tersenyum namun malu-malu, dan kini dadanya berdetak cepat.

"Kamu nggak keberatan kan, Bapak duduk di sini?" sang guru dadakan berpura-pura nanya.

"Duduk aja Pak. Toh ini juga bukan meja milik saya kok," balas Aruna sok santai. Dewandaru pun duduk di hadapan keduanya.

Sonia pun tiba-tiba datang menghampiri mereka bertiga. "Eh, hai Aruna. eh Bapak?" wajahnya terkejut yang dibuat-buat.

Dewandaru menyipitkan matanya bingung, "tadi kita ketemu di parkiran Pak. Ternyata Bapak, guru baru itu ya," Sonia memborong ucapannya. Matanya berbinar menanyai Dewandaru. Sang guru baru pun mengangguk mengerti.

"Saya Sonia, Pak," dia mengulurkan tangannya untuk berjabatan tangan berkenalan ke arah Dewandaru, sedangkan Aruna mengerling kesal dengan sikap Sonia yang terkesan cari perhatian.

"Dewandaru, panggil saja Pak Dewan," Dewandaru membalas jabatan tangan dari Sonia. Keduanya pun berjabatan tangan cukup lama. Tepatnya, Sonia yang enggan melepaskan jabatan tangannya. Senyumnya merekah melihat sosok Dewandaru.

Aruna menggeleng kesal ternyata keputusannya untuk mempersilahkan Dewandaru duduk di sampingnya itu benar-benar salah.

"Boleh saya gabung nggak Pak?" tanya Sonia penuh harap. Tanpa basa-basi bertanya.

Mulut Aruna terbuka untuk menolak halus. Sayangnya sudah didahului oleh jawaban dari Dewandaru.

"Boleh aja, silakan. Katanya ini kantin sekolah. Bukan kantin milik murid," Dewandaru menjawab santai, mengutip kalimat yang beberapa menit lalu diucapkan oleh sang pujaan hatinya, membuat Aruna jengah hingga ingin rasanya ia lemparkan sendok yang dipegangnya pada kening Dewandaru. Hanya mendengus kesal.

Tak lama setelah itu, Sinta pun datang menghampiri mereka, "eh ada Bapak juga ya," sapanya basa-basi manis. Padahal dari kejauhan Sinta pun sudah melihat keberadaan sang guru. Sonia memajukan bibirnya melihat Sinta yang begitu berani ikut-ikutan mendekati Dewandaru. Parahnya, Aruna tak terbiasa dengan keramaian.

"Boleh gabung gak?" Sinta pun meminta hal yang sama dengan Sonia.

"Boleh, silakan," Dewandaru kembali mengizinkan tanpa bertanya pada istri kecilnya. Membuat Aruna semakin kesal.

Gadis itu pun berdiri dari duduknya, mendengus dingin, tangannya setengah menggebrak meja kantin, "aku permisi untuk ke toilet dulu ya," Aruna undur diri dari hadapan mereka semua. Malas bergabung. Baiknya ia yang menjauh tau diri.

Durespati tersenyum lebar, menatap Dewandaru dengan kedua alisnya yang diangkat-angkat, 'dia cemburu,' ucapnya dari telepati. ia tahu apa yang dirasakan Aruna saat ini.

'Benarkah?' Dewandaru menyipitkan matanya.

Mata Dewandaru pun mengikuti gerak-gerik Aruna. Bukan ini yang diinginkannya. Ia ingin duduk dengan gadis itu. Tapi, entah mengapa ada rasa senang saat berhasil membuat gadis itu kesal. Karena kesal yang timbul akibat cemburu.

Di toilet wanita, Aruna mencuci tangannya. Meredakan kekesalan dalam hatinya.
Setelah ini, ia berencana untuk langsung kembali ke kelasnya. Tak ingin kembali bergabung ke kantin.

Melangkah perlahan tangan Aruna pun dicekal oleh seseorang.

"Aruna!" panggil orang itu.

"Ansel!" sahutnya terkejut.

Bersambung ...

Stamplat- Garut perbatasan, 26 November 2021

Dinikahi Siluman UlarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang