MENTARI

462 81 5
                                    

"Manusia itu indah bukan dengan apa yang ia miliki, tapi dengan apa yang ia berikan. Layaknya matahari. Dia memiliki panas yang sangat mematikan. Namun, cahaya yang ia berikan begitu indah, menjadi sumber kehidupan triliunan makhluk hidup di muka bumi." Rafael tersenyum mengucapkan hal itu.

"Sudah berapa kali kau memberikan nasihat itu? Tapi tak apa, aku ingin tahu, memangnya benda apa yang harus kuberikan kepadamu untuk menjadikanku indah di dalam hidupmu?" Alequa menyahut sambil mengunyah buah manis merah tadi.

"Hadirmu dalam hidupku sudah menjadi sebuah pemberian yang paling baik, Alequa. Kau sudah indah di mataku dan akan selalu menjadi indah." Jawab Rafael penuh rasa serius.

Mendengar hal itu hati Alequa berbunga seketika. Berusaha mengontrol sikapnya yang terbawa halusnya angin perasaan. Gadis itu tertawa, berpura-pura merasa biasa saja.

Apakah Rafael dapat mencintainya lebih dari cinta seorang sahabat? Entah-lah, itu urusan hati Rafael.

"Haha, tapi hadirmu di hidupku bukan menjadi pemberian yang membuatmu indah, Rafael! Kau tahu pemberian apa yang membuatmu indah di mataku?" Alequa membalas dengan lelucon.

"Apa?"

"Tebak saja dulu!"

"Hmm... buah merah manis itu!" canda Rafael.

"Bukan!" Alequa menggeleng.

"Senyumku!?" Rafael masih bercanda. Menunjukkan senyum lebarnya.

"Bukan!" Alequa menggeleng kembali.

"Wajah tampanku???" Rafael menaikkan satu alisnya. Menunjukkan tampang wajahnya.

"Ah, sudah-lah! Kau memang tak bisa serius denganku," Alequa menatap malas.

"Hahaha! Beri tahu saja-lah, Alequa! Aku lelah menebak." Rafael tertawa. Menatap bulat wajah Alequa yang merajuk.

Alequa mengangkat kepalanya perlahan.
"Bunga..."

"Bunga?" Kening Rafael mengerut.

"Ya—Bunga! Kau waktu itu memberikanku bunga. Pemberian yang membuatmu menjadi sangat indah dalam hidupku." Alequa tersenyum simpul.

"H-hah? Sekedar bunga? Sederhana sekali?" Rafael terheran-heran.

"Ya! Kau selalu berusaha memperlakukanku layaknya Alaka memperlakukanku. Menjadi obat rinduku pada saudara kembarku itu. Andai kau tahu, hal seperti itu sangat amat berkesan dalam hidupku. Terutama dengan perlakuanmu meniru kebiasaan Alaka yang sering kali memberikan bunga. Karena bunga, adalah benda paling kusuka sejak kecil." Alequa mendongakkan kepalanya ke langit. Tersenyum membayangkan wajah Alaka di atas sana.

"Sepenting itu-kah Alaka dalam hidupmu? Hingga sosok dirinya kau cari pada diri orang lain? Bahkan kau nekat berlayar ke Borneo dengan kapal tua yang cacat untuk menemukannya?" Rafael mengajukan pertanyaan. Bukan karena tak suka mendengar kalimat Alequa barusan. Hanya sekedar rasa ingin tahu.

"Ya! Dia sangat amat penting dalam hidupku. Sosok laki-laki terbaik, terindah,...tertampan. Dia tak pernah memarahiku, dia selalu mengalah padaku, selalu menyayangiku, dan dia sangat amat menjaga perasaanku. Aku tak tahu, hidupku rasanya tak pernah berwarna lagi setelah dipisahkan dengannya." Alequa menghela napas.

"Bukankah ada aku, Alequa? Ada aku yang selalu berusaha mewarnai hidupmu? Selalu melakukan hal yang sama seperti yang Alaka lakukan?" Rafael memotong. Mengerutkan wajahnya.

"Berbeda, Rafael. Kau tak punya hubungan darah denganku. Aku dan Alaka sudah bersama sejak di dalam perut ibuku. Bahkan hingga hari lahir-pun, kami juga bersama. Tak pernah berpisah satu detik-pun..." Alequa menatap sakit wajah Rafael. Bukan maksud membandingkan. Gadis itu hanya menjawab hal yang Rafael tanya.

ALEQUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang