1. Bau Mayat

21 5 11
                                    

Suatu hari aku membunuh diri dan mati. Tapi tak seorangpun menguburku, karena tak seorangpun sadar aku telah mati. Aku masih hidup sebagai raga tanpa nyawa. Anggap aku arwah penasaran yang tak bisa ke alam kematian sebab ada urusan dunia yang belum terselesaikan.

Karena aku mati tanpa orang lain sadar, aku harus berpura-pura bernapas, berpura-pura makan, berpura-pura memiliki emosi. Tapi sebagai arwah penasaran, satu-satunya emosi yang kumiliki hanyalah penyesalan. Dan, sialnya emosi yang satu itu sangat tidak mengenakan.

Kematian ini bermula ketika suatu hari aku berniat mengubah hidupku. Aku bertekad tak akan makan sebelum hidupku berubah. Istilahnya mogok makan. Dan tanpa kusadari, tahu-tahu aku telah membunuh diriku sendiri. Tapi tidak kukira yang mati hanya kefanaan semata, sementara roh-ku tetap eksis dan harus terlibat sandiwara besar dengan manusia hidup.

Sejarah tidak mungkin mencatat namaku. Aku adalah manusia yang tidak pernah berkontribusi pada bidang apapun di dunia ini. Menanam pohon, atau mendaur ulang sampah non organik adalah kontribusi paling irit biaya. Tapi aku tidak melakukan keduanya. Aku tidak menyelamatkan bumi sekalipun sesekali aku mencaci kebiasaan masyarakat yang merusak iklim bumi.

Kontribusi paling konvensional pun tidak kulakukan. Aku tidak pernah membayar pajak. Tapi absen pajak itu pengecualian. Karena memang aku tidak memiliki harta yang bisa dikenai pajak.

Tapi kurasa lain ceritanya saat aku tidak pernah ikut meramaikan pilkada maupun pemilu. Kelingkingku masih perawan tanpa pernah sekalipun tercelup tinta biru. Aku tidak ikut melakukan aksi demokrasi seperti memilih calon pemimpin karena menurutku tak ada gunanya.

Maksudnya adalah, siapapun presidennya hidupku bakal tetap begini-begini saja. Kere dan melarat. Pokoknya kalau miskin, salahkan saja presidennya. Kemiskinan itu tidak ada hubungannya dengan kemalasan bekerja.

Tapi itu pikiran sesat. Harap jangan ditiru.

Selain anti demokrasi, aku juga seorang tamak yang selalu merasa kekurangan. Jadi sudah jelas aku tak pernah menyumbang sepeserpun untuk lembaga apapun.

Bukan tanpa alasan sebenarnya. Percayalah, bahkan tetes air yang menetes dan angin yang bertiup pun memiliki alasan atas keberadaannya.

Lalu apa alasan dibalik nihilnya kontribusiku?

Jawabannya singkat dan padat. Karena aku tidak tertarik. Dan aku tidak tertarik karena memang tidak ada satupun alasan bagus untuk tertarik.

Tapi aku tetap bekerja. Dulu kupikir aku akan bekerja dan pensiun hanya ketika aku sudah mati. Tapi ternyata setelah mati pun aku masih juga bekerja. Kalau aku berwujud arwah penasaran maka akan kutawarkan jasa babi ngepet, meskipun aku bukan babi. Atau aku akan menghuni pohon-pohon tua yang dikeramatkan dan akan memberi semacam wangsit pada manusia-manusia lemah iman yang datang untuk memohon kekayaan, jodoh, ataupun celaka untuk musuhnya.

Pertimbangannya adalah daripada aku menganggur.

Tapi ternyata aku mati dengan arwah tetap menempel di tubuh. Tidak mungkin dengan raga kasar ini aku menjadi babi ngepet, apalagi menghuni pohon keramat. Satu-satunya yang bisa kulakukan adalah bekerja sebagaimana saat masih hidup.

Hari itu kugeret mayatku untuk pergi bekerja dalam upaya mencari uang. Aku masih harus makan meski dalam jumlah sedikit, agar organ-organ dalam ini tidak lekas membusuk. Aku juga masih harus berganti pakaian agar tidak terlalu bau bangkai.

Lagipula aku juga masih harus menabung untuk biaya pemakamanku kelak.

Jadi, pergilah aku bekerja. Aku bekerja sebagai petugas kebersihan di salah satu kantor swasta. Tugasku adalah menyapu dan mengepel lantai, serta membuang sampah. Hanya itu. Aku dilarang menyentuh meja dan barang-barang di atasnya. Aku juga tidak pernah disuruh-suruh hal lain seperti membuatkan kopi atau membeli makanan.

CAHYOWhere stories live. Discover now