2. Pura-pura Makan

11 3 7
                                    

Kuingat-ingat lagi bagaimana kematian absurd ini berawal. Saat itu aku tengah berjuang menghadapi depresi berat. Setiap malam atau kapanpun perasaan hampa itu datang, aku akan menuliskannya dalam sebuah buku catatan.

Buku catatan itu menjadi dokumen paling otentik yang menggambarkan perjalanan hidupku dalam kurun waktu kurang dari dua tahun. Catatan itu bisa berisi caci-maki pada dunia, nafsu makan yang meledak kemudian menghilang, keinginan mati, serta insekuritas.

Orang yang memiliki insekuritas dan tidak percaya diri cenderung menolak untuk melihat hal secara optimis dan sebaliknya melihat hal-hal tersebut dengan pesimis.

Aku tidak tahu dari mana datangnya pikiran-pikiran negatif ini. Tapi harus kuakui sifat anarkis tidak datang dari luar diriku.

Aku ingin hidupku berubah. Sebagai bentuk protes yang bisa dibilang kekanakan, aku melakukan aksi mogok makan. Kupikir, kalau aku sangat cinta pada hidupku ini, pastilah aku tidak akan tahan untuk tidak makan.

Pada akhirnya aku mempertaruhkan naluri bertahan hidupku. Yang ternyata naluri itu sudah kacau balau duluan. Sehari dua hari kulalui tanpa makan, sampai seminggu kemudian aku sekarat dan pingsan.

Aku sendirian menjelang sakaratul maut. Tapi itu belum seberapa, seakan benar-benar dilupakan oleh Tuhan, tidak ada malaikat maut yang menjemputku. Aku tidak bisa pergi ke alam barzah. Lalu entah bagaimana mayatku masih bisa bergerak lagi.

Sepertinya ini adalah hukuman Tuhan atas pembangkangan besarku. Tolong jangan salahkan aku, tapi pribadiku memang tercipta keras kepala dari sananya. Aku mengikuti konseling dengan psikolog, menebus resep obat dari psikiater. Aku juga melakukan kegiatan healing yang entah bagaimana terminologinya dibelokan anak masa kini menjadi liburan.

Aku juga membaca buku-buku self improvement, menonton pengakuan penyintas depresi, mendengarkan ceramah. Tapi tetap tidak ada satupun yang mampu mengobati rasa hampaku ini.

Kurasa aku memang bebal yang tak tertolong lagi. Presiden Soekarno kalau masih hidup dan diminta untuk memotivasiku pun akan menangis dan menyerah. Lalu beliau akan mengatakan kalau aku sudah tidak tertolong lagi.

Maaf kalau aku sebagai anak bangsa mengecewakan para pejuang proklamasi, tapi memang kebebalan ini terlalu akut dan tak bisa terobati. Aku sudah anggap ini kutukan.

Aku lanjutkan ceritaku. Jadi, setelah tiga hari sekarat dan tiga hari menjadi mayat. Mataku yang terbuka dan sangat kering terasa tidak nyaman.

Mayat mana yang merasa tidak nyaman dengan kemayatannya?

Akulah orangnya. Aku berusaha memaksa tubuh matiku untuk bergerak agar bisa memejamkan mata. Setidaknya biarkan mayatku ini terlihat seakan-akan mati dalam kedamaian.

Hanya dengan tekad syaraf motorikku bergerak untuk menutup mata. Aku bahkan bisa menutup mulut yang tadinya agak menganga, dan agar lebih sedap dipandang mata sekalian agak kulengkungkan bibirku sedikit agar terlihat tersenyum.

Aku mayat paling munafik sejagat raya. Jelas-jelas aku tewas karena kelaparan dan rasa tidak bahagia, tapi begitu tahu aku masih bisa memanipulasi tubuh mayat ini, aku memilih untuk menunjukkan kepalsuan.

Lalu seperti yang telah sama-sama kita ketahui, aku masih sangat mampu mengakses seluruh syaraf motorikku. Kepalang tanggung, aku bangkit dari pembaringanku lalu menuju kamar mandi untuk bersih-bersih diri. Rambut kukeramasi, kupakai gaun terbaik, juga menyemprotkan wewangian sedikit ke tubuh.

Lebih tanggung lagi, aku mengganti spreiku, menata kamar agar lebih estetik, tak lupa menuliskan pesan kematian untuk keluargaku nanti. Setelah semua itu, aku berbaring menutup mata, melengkungkan senyum, dan menunggu seseorang sadar kalau aku sudah semingguan ini tidak keluar kamar kost.

CAHYOWhere stories live. Discover now