3. Malaikat Maut

7 4 4
                                    

Hari ini adalah hari ke 39 dari sejak aku mati. Konon, roh hanya punya waktu 40 hari 40 malam untuk melihat orang-orang terkasih terakhir kalinya, sebelum dia berangkat ke alam sana.

Tapi ternyata kepercayaan itu tidak benar. Atau karena aku orang yang selalu tidak mendapatkan hal yang benar. Orang-orang hidup dengan cara mereka sendiri. Cara hidupku memang tidak menyimpang, tapi juga tidak lurus.

Contohnya saja soal keyakinan yang tercetak jelas di KTP dan kartu keluarga, keyakinan itu sudah pasti diturunkan oleh orangtuaku. Tapi aku terkadang masih bingung mau pergi ke rumah ibadah yang mana.

Bukankah hampir semua orang mengakui kalau Tuhan itu satu. Tapi mengapa mereka masih juga meributkan perkara cara menyembah. Seolah tuhan yang kudatangi di mesjid berbeda dengan tuhan di vihara ataupun gereja.

Semasa hidup dulu aku memang lebih nakal dari saudara perempuanku. Tapi yang sebenarnya aku bukanlah anak nakal. Aku cuma lebih jahil dan aktif ketimbang saudari perempuanku itu.

Kakak perempuanku adalah gambaran nyata perempuan ideal. Dia cantik, cerdas serta memiliki watak santun. Kakakku itu nyaris tanpa cacat, dan sebagai bentuk keramahan Tuhan pada hidupnya, aku dihadirkan menjadi adiknya. Aku adalah kebalikan dari ideal. Aku perempuan sembrono, sedikit tomboi, otak lelet, dan pemalas.

Karena ada aku yang super minus, saudariku itu bisa terlihat lebih bersinar. Tapi sudah kubilang kalau dia itu nyaris sempurna dan bukannya sempurna. Hanya aku yang tahu dibalik sikap rendah hatinya, sebenarnya dia memandang tinggi dirinya sendiri.

Mungkin akibat terlalu sering disanjung, kakakku itu jadi mengidap sindrom bintang. Beberapa kali dia mengkambinghitamkan saat dia si nyaris sempurna melakukan kesalahan.

Tapi karena sejak awal semua orang menganggap akulah setan sedangkan dia malaikatnya, maka kebohongannya itu mereka telan bulat-bulat.

Sepanjang hidupku aku selalu merasa tersisih, tidak ada seseorang yang benar-benar membutuhkanku. Kecuali kalau itu menyangkut pekerjaan, belum pernah ada seseorang yang memanggil dan mencariku.

"Mbak! Mbak ce-es! Hei yang Baju biru, yuhu!"

Aku sedang berjalan memasuki halaman kantor berbalik untuk melihat siapa yang memanggil. Kulihat Cahyo melambai-lambaikan tangannya dari parkiran sepeda motot.

Baru kali ini aku menemukan pegawai kantor yang datang sama paginya dengan cleaning service.

Agak susah kuangkat tanganku untuk balas melambai. Tingkah pemuda itu kadang seperti anak remaja, tapi semua orang di kantor ini malah menyukainya. Kekanakannya itu menyenangkan, bukan kekanakan yang menyebalkan. Aku saja sebagai mayat yang seharusnya sudah mati rasa juga menyukainya.

Cahyo yang berjalan lincah ke arahku nampak berseri. Auranya sungguh bersinar seakan dia memiliki banyak susuk di tubuhnya.

Mungkinkah memang begitu?

Dia menggunakan susuk untuk menarik simpati semua orang?

Mayat sepertiku tidak perlu mempedulikan hal itu. Tapi entah kenapa, aku peduli apa alasan dia memanggilku saat ini. Pagi buta dia sudah datang ke kantor, lalu melambai dan memanggilku seakan memang mencariku.

Mungkinkah dia sengaja untuk berbicara denganku?

Gawat dia semakin dekat!

Aku harus segera menutup pori-pori dan seluruh rongga terbuka di tubuhku. Aku menarik karet rambut dan membiarkannya tergerai untuk menutupi telinga. Aku menutup rapat mulut lalu mencubit cuping hidungku.

Untung aku langsung tersadar kalau menutup rapat mulut dan cuping hidung terlalu lama adalah tindakan yang tidak manusiawi. Tidak ada pilihan lain selain membiarkan hawa mayat ini tercium oleh Cahyo.

"Pagi Mbak ce-es!" sapanya riang. Giginya yang berkilau menyakiti mataku. "Kenapa bengong di sini? Yuk masuk!"

Usai berkata begitu, Cahyo Adityo ini mendahuluiku begitu saja. Begitu saja...

Segitu saja? Cuma itu?

"Bangke!" desisku geram.

Bisa-bisanya aku berpikir dia memanggilku karena ada sesuatu yang ingin dia bicarakan. Ternyata itu hanya bagian dari basa-basi warisan budaya indonesia tercinta.

Karena tak ada pilihan lain dan mungkin memang sudah nasib badan, kulakoni kegiatan bersih-bersih kantor seperti biasanya. Aku tergolong pegawai baru di sini. Meski umurku sudah 27 tahun, tapi karena langganan dipecat membuatku tak bisa menjadi pegawai senior di perusahaan manapun.

Awalnya aku menaruh lamaran sebagai staf admin di sini, tapi malah dipekerjakan sebagai cleaning service. Salah mataku yang tidak melihat pengumuman lowongan dengan benar. Tapi kujalani juga pekerjaan ini ketimbang aku hanya bisa mengharap uang saku dari ibu atau kelaparan sampai mati.

Meskipun aku memang kelaparan sampai mati, tapi itu perkara lain. Jadi harap dipisah.

Pernah aku berjalan kaki sambil membawa-bawa surat lamaran, kendati sekarang sudah era-nya orang-orang mengirimkan CV melalui email. Ada dua alasan mengapa aku memilih terjun langsung ke lapangan ketimbang menggunakan jasa internet.

Alasan pertama karena lebih hemat di uang (walau boros di waktu), alasan kedua murni karena aku ingin mencoba peruntungan di jalanan. Peruntungan yang kumaksud adalah kemungkinan untuk menemukan dompet atau perhiasan seseorang.

Aku baru menyadari cetek sekali akalku ini. Dan kuakui memang cetek. Aku adalah manusia yang tidak mengenal kata efisien. Seribet apapun kujalani demi kemauan kuat yang tak berdasar.

Saat aku memasuki ruangan tempat Cahyo berada, kulihat lelaki itu tidak langsung bekerja. Bukannya dia sedang bersantai juga, maksudku dia tidak langsung mengerjakan laporannya, alih-alih dia malah membersihkan mejanya dengan telaten.

Baiklah, kurasa dia tidak ingin aku menyentuh barang-barang di atas mejanya. Aku memang tidak menyentuh. Tugasku hanya mengelap meja setelah sebelumnya pemilik meja memastikan tidak ada barang-barang penting berceceran di atas mejanya.

"Lagi-lagi bau bangkai." Aku mendengar lagi keluhan Cahyo.

Aku tersinggung dengan kesensitifan hidungnya itu. Dikiranya hanya hidungnya yang sensitif? Hatiku ini pun sama sensitifnya.

Tapi memang wajar kalau aku semakin bau. Belatung-belatung di bawah kulitku ini sudah menghabiskan banyak dagingku lalu menggantikannya dengan kotoran mereka.

"Ini kenapa aku tidak suka berurusan dengan kalian. Bau kalian tidak tertahankan."

Aku yang sedang menyapu berbalik menghadapnya. Kami hanya terpisah oleh beberapa meja saja, tapi dapat kudengar jelas keluhannya tadi. Dan seketika aku menyadari sesuatu yang paling ganjil dari Cahyo Adityo.

Hanya dia satu-satunya orang yang bisa mencium bau mayatku. Selain dia, belum pernah ada orang lain yang berkoar-koar soal bau bangkai.

Aku hanya diam menatapnya. Tapi kemudian dia tertawa, bukan sebuah tawa ramah yang biasa dia tunjukkan. Melainkan tawa muak. Saat dia berbalik, kemuakan terlihat jelas di wajahnya.

Cahyo melibas udara dia depan hidungnya, "Bau sekali."

"Kau ... Sebenarnya siapa?" Atau apa? Sekarang Cahyo terlihat sama tidak manusiawinya denganku.

"Apa kita harus berkenalan lagi?" senyum sinis dia tampilkan padaku. "Aku Cahyo Adityo, seperti yang kau sudah tahu. Oh, aku juga seorang malaikat maut."

Masih aku tercengang, Cahyo melanjutkan lagi kalimat yang membuat mayat sepertiku mendadak bisa kena serangan jantung.

"Malaikat mautmu."

(.)

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 26 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

CAHYOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang