E

371 21 6
                                    

Dulu sewaktu orangtua mereka masih ada, Dean pernah menjahili Alula sampai menangis. Saat itu Alula berumur 6 tahun sementara Dean 16 tahun. Waktu itu Dean masih menjadi kakak laki-laki yang usil pada adiknya yang lucu.

Dean sengaja menyembunyikan boneka barbie favorit Alula, hingga membuat adiknya itu bersedih. Tapi lucunya, Dean akan berpura-pura mencari boneka barbie itu, lalu mengajak Alula berkeliling rumah bersamanya untuk mencari boneka itu.

Berkeliling sampai ke sudut rumah dan sudut halaman, hanya berdua sambil tangan montok Alula menggenggam tangannya. Dean menyukainya, terasa dia sudah benar-benar menjadi seorang kakak yang menjaga adik perempuannya.

Dean sangat gemas dengan Alula. Dean gemas dengan celotehan, suara, harum tubuh, hingga gerak-gerik Alula. Terkadang Dean sampai ingin menggigit pipi adiknya itu. Padahal dulunya dia tidak terlalu senang dengan kabar kehamilan mama.

Dean berumur 9 tahun saat dia mendapat kabar mama mengandung lagi. Beberapa bulan setelahnya, keluarga itu mengetahui kalau anak yang dikandung mama berjenis kelamin perempuan. Dari sejak itu Dean mulai tertarik pada janin yang dikandung mama.

Dean mulai peduli dan mengikuti perkembangan janin di perut mama. Bocah itu selalu ikut menemani ke rumah sakit setiap mama kontrol. Dari sejak dalam kandungan, Alula sudah menjadi bayi yang aktif dan sehat. Dean suka sekali merasakan tendang-tendangan Alula di perut Mama.

Saat itu, bocah lelaki itu sudah sangat tak sabar untuk berjumpa dengan adiknya. Dean selalu menunggui mama meminum susu, susu untuk wanita hamil agar adik bayinya sehat. Dari bocah tidak pedulian, perlahan Dean berubah menjadi bocah yang sangat romantis. Dia selalu bersikap lembut pada mama dan adik bayi yang berada dikandungan.

Alula lahir dengan sehat dan selamat. Alula adalah bayi yang montok dan lucu, di bawah umur 10 tahun kemontokan itu bertahan, dan baru menghilang perlahan ketika orangtua mereka meninggal. Mobil mereka mengalami kecelakaan tunggal di jalan tol.

Di waktu sekarang, Dean yang mulai bisa sedikit berpikir jernih berkeliling menggunakan motor untuk mencari adiknya itu. Dean hanya bisa terus mengumpat sambil memukul kemudi dengan putus asa saat tidak ditemukannya adiknya di manapun. Ponsel Alula tertinggal di rumah, bahkan Dean baru menyadari adiknya itu hanya mengenakan piyama tipis saat keluar rumah.

"Shit! Shit! Shit! Di mana kamu, sayang? Di mana?"

Dean hanya bisa memaki dirinya sendiri. Memaki kebodohannya. Memaki ketidakwarasannya.

Alula sendiri memang entah berada di mana. Langkah Alula lunglai terseok-seok. Kakinya yang tanpa alas sudah melepuh karena dipaksa berlari entah berapa ratus kilometer. Gadis itu memandang ke sekelilingnya, hiruk pikuk kota yang ramai dan sibuk dengan urusannya masing-masing.

Tidak ada yang akan memperhatikannya apalagi membantunya. Alula juga tidak tahu apa yang bisa dibantu oleh orang-orang asing ini. Tidak mungkin mereka bisa mengembalikan kewarasan kakaknya.

Alula hanya mengenakan piyama merah muda, tanpa membawa lainnya sewaktu melarikan diri sesuai perintah Dean tadi. Alula kembali menangis, tidak habis pikir mengapa kakaknya tega mengusirnya malam-malam begini.

Apa kakaknya itu tidak lagi mengkhawatirkan keadaannya di luar sini?

Padahal dulu Dean sangat posesif tentang ke mana Alula pergi, dengan siapa, pulang jam berapa, lengkap dengan aturan ketat jam malam. Kakaknya itu sudah seperti penjaga asrama saja.

"Neng mau ke mana?"

Sekelompok laki-laki menegur Alula. Ada empat orang, mereka terlihat seperti berandal, pengamen, dengan gaya anak punk.

Aku terkesiap, baru menyadari kalau dia sudah berjalan ke pelosok gang sempit. Hiruk-pikuk kota hanya terdengar di kejauhan sana. Alula tidak bisa menjawab, hanya bengong dengan mata melotot terkejut.

"Orang gila baru jadi, nih, kayaknya," celetuk seorang anak punk dengan tindik berjejer di kedua telinga.

"Sayang banget!" sahut yang berambut jabrik. "Cakep begini."

"Neng, jadi pacar gue mau gak?" tanya yang berbadan paling cungkring. Wajahnya mirip-mirip Vino G Bastian dengan rambut gondrong. "Gue demen sama ceue gila."

Si Jabrik dan si Tindik kontan menggeplak kepala si Cungkring. Umpatan-umpatan kecil terdengar diselingin suara tawa mereka.

"Ternyata mereka yang gila," cetus laki-laki yang penampilannya tidak terlalu punk. Yang satu ini malah terlihat seperti rocker.

"Gue Zachtie, elo?" si Rocker mengulurkan tangan.

Alula awalnya diam saja, masih terlalu bingung harus bertindak bagaimana menghadapi keempat anak punk bertampang seram-seram ini. Tapi karena mereka tetap sabar menunggu tanggapan darinya, juga rocker bernama Zachtie tidak berniat menarik uluran tangannya, maka Alula membalas ajakan berjabat tangan tersebut.

"Alula," lirihnya. Terlalu pelan karena suaranya menjadi sangat serak sehabis berteriak tadi.

"Rumahnya di mana?" Zachtie kembali menanyai.

Tapi Alula hanya menggeleng. Dia tidak tahu rumahnya di mana sekarang. Menyadari itu membuat air mata Alula kembali menetes.

"Wah nangis jadinya, Zach!" Heboh si Jabrik. "Gara-gara elo tuh."

Si tindik kuping menggeplak kepala si jabrik. "Bisa diem dulu gak, sih!"

"Gini, Neng, dengerin baik-baik." Si gondrong yang mirip Vino G Bastian menegur. "Udah malam, di daerah sini banyak laki-laki jahat. Masih untung cuma ketemu kami-kami yang jomblo akut, bukan penjahat akut."

Mendengar itu tangisan Alula kian menderas. Alula tidak tahu dia harus bilang apa dan menjawab mau ke mana dirinya. Sendirian di tengah kota, tanpa uang bahkan tanpa sendal. Kehampaan membuatnya tidak bisa berpikir jernih.

Tubuhnya menggigil sedari tadi, udara malam memang sangat dingin. Tapi dia gemetar bukan hanya karena dingin yang menusuk, tapi juga karena kesedihan yang meluap tak habis-habis.

Alula memang cengeng, dia manja dan penuntut. Tapi setiap kesedihannya selalu bisa diobati oleh Dean. Bahkan kesedihan ditinggal Mama-Papanya. Dean adalah pelipur lara. Tapi bagaimana sekarang?

Saat pelipur lara kini menjadi lara itu sendiri?

"Mending anterin ke tempat Mak Saro aja. Dia pasti mau nampung barang semalam dua malam," usul si Jabrik.

"Ini cewek kayaknya anak orang kaya. Bening begini soalnya." Si Tindik yang bicara begitu langsung ditampol si Jabrik.

Kemudian si Jabrik mulai mengomel, "Kan udah dibilang, cat calling aja termasuk pelecehan. Apalagi ini lo bilangin anak orang benang-bening. Sayur bening Mak Saro lo gak doyan."

"Bacot kalian bisa diem dulu gak!" bentak si Vino KW. "Ini cewek masih mewek!"

Alula masih menangis layaknya anak kecil yang tersesat. Dugaan kalau dia gila memang tidak salah, karena untuk mengontrol emosi pun Alula sudah tidak bisa.

"Jadi mau ikut kami, Neng?" tawar Zachtie, lagi. Dia yang terlihat lebih manusiawi dan terpelajar di antara yang lainnya.

"Alula mau ikut kami ke tempak Mak Saro? Sayur beningnya enak, lho!" Vino KW ikut-ikutan membujuk.

Agak lama Alula menatap keempat lelaki itu. Tangisannya kini mulai mereda. Alula menghapus jejak air mata kemudian mengangguk pelan.

"Makasih banyak," bisiknya pelan. Suaranya yang serak sudah nyaris hilang.

Zachtie membuka sepatu conversenya dan menawari Alula untuk memakainya. "Anak cewek kakinya gak boleh luka." Lelaki itu tersenyum ramah sewaktu mengatakannya.

Alula menurut saja, bibirnya hanya terkatup rapat. Air matanya memang sudah berhenti, tapi jelas dia masih menangis. Dan ini adalah tangisan terburuk yang pernah dialaminya dalam seumur hidup.

Tangisan tanpa air mata.

(.)

Sister Complexحيث تعيش القصص. اكتشف الآن