6• Rindu Tak Berujung Temu

1.3K 221 244
                                    

Ada 3 hal untuk mengapresiasi penulis: pertama vote, dua komen, tiga share. Btw, jangan silent reader, ya!❤️

Typo bersebaran harap di maklumi, namanya juga manusia. Tapi, jika berkenan tolong di tandai agar nnti bisa di revisi.

"Jika saatnya sudah tiba, sedih akan menjadi tawa, perih akan menjadi cerita, rindu akan menjadi temu

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Jika saatnya sudah tiba, sedih akan menjadi tawa, perih akan menjadi cerita, rindu akan menjadi temu. Meski tak menentu, namun apa salahnya jika menunggu?"

❥˙Happy reading˙❥

__________________


Jevian mulai memarkirkan motornya di garasi rumahnya. Setelah itu ia mulai berlenggang menuju dasar rumah. Ia menghela napas kasar ketika menatap pintu berwarna putih itu. Tanpa berpikir panjang akhirnya ia mulai memegang kenop lalu di buka-nya pintu secara perlahan. Sudah tampak seorang pria yang sedang terduduk santai di atas sofa. Pria itu adalah Abizar—Papanya.

Pria itu memberi sorot tajam kearah Jevian.
"Bagus, jam segini baru pulang. Darimana saja kamu? Kelayapan aja bisanya!" ujar Abizar dengan ketus.

Jevian, tak menghiraukan pertanyaan dari Papanya. Ia malah terus berjalan dengan menundukkan wajahnya. Hal itu semakin membuat Abizar marah. Bukan tak sopan, Jevian hanya tidak ingin Papa melihat wajahnya yang babak belur akibat perkelahian tadi. Abizar pasti akan sangat marah. Ah, bukan karena khawatir. Melainkan dia yang belum sempat untuk belajar.

"Jevian, saya sedang berbicara. Apa kamu tuli?!" tanya Abizar dengan intonasi yang meninggi.

Jevian mulai menghentikan langkahnya. Lalu ia menghela napasnya sejenak. "Maaf, Jevian udah dari makam Mama. Tenang aja, sesudah mandi nanti aku langsung belajar kok, Pa."

Abizar hanya menaikkan satu alisnya. Lalu menatap Jevian dari atas hingga bawah. Jevian hanya bisa meremat jemari tangannya dengan kuat, tatapan intimidasi itu adalah hal yang selalu Jevian hindari. Karena, jika Papa sudah seperti itu, semuanya akan menjadi panjang. Apalagi dengan keadaan baju yang lusuh dan beberapa memar di area wajahnya membuat Jevian semakin merasa teracam.

"Dari makam mama kamu bilang? Kamu pikir saya orang bodoh. Sehingga bisa kamu bohongi?!" seru Abizar, penuh penekanan. "Saya tanya sekali lagi, kamu sudah darimana?!" tanyanya lagi. Kini dengan suara yang sangat tinggi.

Jevian hanya bisa mengepalkan kedua tangannya, ia sudah sangat muak dengan teriakan penekanan itu. Apa lagi, segala hal yang keluar daru mulutnya tidak pernah ada benarnya. Di mata Papa, Jevian selalu salah, atau lebih tepatnya, ia selalu di anggap sebagai sebuah kesalahan.

"Nggak ada gunanya bohong."

Abizar menaruh kedua lengannya diatas dada, lalu netranya ia fokuskan ke arah Jevian.
Sesekali, tawa kecil keluar dari mulut pria setengah baya ini.

JevianWhere stories live. Discover now