16. Terima kasih, Jevian.

1.2K 144 126
                                    

Ada 3 hal untuk mengapresiasi penulis: pertama vote, dua komen, tiga share. Btw, jangan sinder, ya!❤️

Typo bersebaran harap di maklumi, namanya juga manusia. Tapi, jika berkenan tolong di tandai agar nnti bisa di revisi.

"Berterima kasihlah pada hal-hal yang menurutmu sederhana. Karena, bagi orang yang mendapatkan ucapan seperti itu, adalah suatu hal yang mungkin jauh lebih bermakna bagi dirinya."

˙❥Happy reading❥˙
_________________________________


Mati-matian Shaqueen menahan emosi pada saat Jevian mengajaknya berangkat sekolah sepagi ini. Lagian manusia waras mana yang sudi berangkat pukul 05.43 dini hari? rasanya Jevian terlalu rajin dan hal itu sangat berbanding terbalik dengan dirinya. Sialnya, mengapa dia harus terlibat hal konyol untuk pergi bersama laki-laki gila ini? Dan ya, tidak ada jawaban yang tepat. Sebab dia juga tidak tau harus berbicara apalagi. Pagi ini, sudah banyak sumpah serapah yang gadis ini lontarkan untuk Jevian.

"Lo emang selalu berangkat sepagi ini?" tanya Shaqueen, dengan suara yang hampir teriak.

Bisingnya suara kendaraan membuat Jevian tidak begitu jelas mendengar perkataan gadis di belakangnya. "Hah, apa, Sha? Nggak kedengaran," sahutnya sembari sedikit membuka visor motornya.

Shaqueen hanya bisa menghela napas kasar, lalu mendekatkan mulutnya ke arah helm yang Jevian kenakan. "LO EMANG SELALU BERANGKAT SEPAGI INI?" ulangnya lagi.

Jevian hanya menggelengkan kepalanya. "Enggak," sahutnya dengan seadanya.

Shaqueen membulatkan matanya, lalu menatap tajam Jevian lewat kaca spion. "Terus, kenapa lo ngajak gue berangkat sekolah sepagi ini, Sapi?!" gerutunya tak terima.

Jevian hanya bisa menghela napasnya panjang. "Kita harus anter Aji sama Raka ke sekolah barunya kalo lo lupa."

Shaqueen menepuk jidatnya. Ia benar-benar lupa jika hari ini adalah hari pertama Aji dan Raka masuk ke sekolah barunya. Padahal semalaman, ke-dua anak itu berulangkali memberitahunya jika esok adalah hari yang paling mereka nanti setelah sekian lama.

Sudah hampir satu tahun mereka menyimpan asa untuk mengenyam pendidikan di sekolah. Namun, kehidupan membawanya tersadar dan terdampar di jalanan untuk mencari sesuap makan. Meski seringkali nenek melarang, tetapi mereka masih bersikeras untuk banting tulang, alih-alih untuk meringankan beban nenek yang sudah ringkih. Meski terasa perih, ketika mendapati orang-orang yang bisa leluasa menikmati masa kecil. Justru mereka hanya bisa bersyukur menikmati kehidupannya dengan cara sederhana. Di jalanan, bersama hiruk-pikuk nya kota Jakarta, mereka berkelana. Hingga takdir membawanya kembali bertemu dengan manusia-manusia baik di sudut-sudut kota.

Kini jalan Sudirman masih sebagian kosong, kendaraan hanya ada beberapa yang berlalu lalang. Shaqueen menatap ke arah belakang, di mana terdengar gelak tawa Aji dan Haikal. Senyuman tipis mendarat di sudut bibirnya, meski sebagian perih ketika sadar bahwa selama ini ia kurang bersyukur terhadap kehidupan.

"Pi, gue kira Raka sama Aji itu, adik kakak kandung." Shaqueen terdiam beberapa saat, lalu menghela napasnya pelan. "Kok ada sih orang tua yang tega buang anak selucu mereka?" tanya Shaqueen lirih.

Jevian hanya menilik Shaqueen di balik kaca spion motornya, seolah sedang memastikan keadan gadis di belakangnya. Jelas sekali wajah gadis itu kini berubah menjadi sendu. Jevian tahu, pasti Shaqueen merasa iba. Hal yang sama seperti apa yang dirinya rasa ketika pertama kali bertemu dengan mereka.

JevianOù les histoires vivent. Découvrez maintenant