44. menyenangkan

49 12 0
                                    

"Menyenangkan itu bisa didapat dari teman-teman. Tapi kenyamanan dan kehangatan bisa kita temukan di dalam keluarga."
--Alin--
.
.
.
.
.

Kelima remaja keluar dari ruangan Bia bersama seorang ibu-ibu berusia empat puluh tahun.

"Makasih ya, udah pada meluangkan waktu buat jenguk Bia."

"Sama-sama Bu. Semoga Bia nya lekas sembuh," ucap Daffa mendoakan. Ibu itu hanya mengaminkan sambil kembali berterima kasih. Sedang keempat remaja yang lainnya hanya diam saja dibelakang Daffa sambil sesekali membalas senyuman ibu itu dengan ramah.

"Ya udah, kalo gitu kita pamit pulang ya Bu." Daffa berpamitan mewakili yang lain.

"Iya. Hati-hati di jalan." Ibu itu tersenyum. Semakin lebar ketika menatap Alin. "Hati-hati ya, Lin. Sekali lagi saya berterima kasih sama kamu."

"Iya Bu. Sama-sama. Salam ya Bu, buat Julian. Saya denger-denger, hari ini dia mau datang lagi kesini."

"Oh iya, nanti saya sampaikan. Julian memang sudah seminggu lebih datang kesini setiap hari untuk temani Bia."

Alin tersenyum. Pantas Julian belakangan ini jarang memanjakannya. Sial, sudah Alin anggap teman sekarang pun, Bia masih bisa aja merebut perhatian Julian. Untung Alin bukan pacar laki-laki itu lagi.

"Kalo gitu kita pulang sekarang ya, Bu. Assalamualaikum." Alin memberi salam.

"Waalaikumsalam."

Mereka melangkah pergi dari sana bersama-sama. Daffa, Nila dan Sayang jalan beriringan di depan. Sedangkan Alin dan Alvian ada di belakang mereka.

"Kenapa tuh muka kecut banget? Cemburu denger Julian sering kesini?" bisik Alvian sambil berjalan santai.

Alin melirik sekilas, berdecak kesal sebelum akhirnya membalas bisikkan Alvian dengan suara pelan. "Dia jadi jarang manjain gue lagi. Bukan cemburu. Lagian lo ngapain nanya kayak gini? Atau jangan-jangan lo yang cemburu gara-gara gue ngomongin Julian tadi?"

"Ngapain gue cemburu? Gak penting," jawab Alvian acuh tak acuh. Suaranya kecil, jadi tiga orang di depan mereka tidak mendengar percakapan mereka sama sekali. "Lagian mana mungkin buaya kalah sama kadal?"

"Dihh... Dasar buaya buntung!"

"Ngaca cantik, ngaca. Anda juga buaya kalo anda lupa," balas Alvian disertai senyum meledek.

Alin melirik laki-laki itu tajam. "Untung omongan lo bener. Kalo salah, gue kurung lo di kamar mayat."

"Ya udah, kurung. Tapi lo temenin."

"Untung di lo rugi di gue, dong!"

Alvian tertawa pelan. Wajah Alin yang bulat, serta sepasang mata yang tak kalah bulat entah kenapa selalu menarik perhatian Alvian. Mirip kepala panda yang berbentuk bulat tembam. "Dih, sok imut banget lo melotot-melotot begitu."

"Gue emang imut dari lahir! Mau apa lo? Berante--"

"Kiss."

"Brengsek!" umpat Alin. Alvian terkekeh. Sebelah tangannya meraih tangan Alin. Menggandeng gadis itu dengan erat lalu tersenyum manis.

"Sudahi kesalmu, mari pulang bersama si ganteng di sampingmu."

"Sudahi gombalanmu, mari habiskan duitmu bersamaku," balas Alin yang langsung membuat senyum di bibir Alvian luntur.

"Aduh, kayaknya gue mendadak amnesia hari ini. Lo siapa ya? Kita kenal? Kok bisa ngomongin duit sama gue?"

Alin berdecak. "Dasar pelit!"

She is HandsomeDonde viven las historias. Descúbrelo ahora