06. ☕ Janji Pada Dua Cangkir Kopi ☕

160 53 17
                                    


Ada sebuah ungkapan "Secangkir kopi bisa menggambarkan karakter penikmatnya". Memang benar. Sama halnya dengan mata seseorang. Aku melihat gambaran itu dalam mata Andaru. Mata itu berani dan tegas. Namun, ada sesuatu yang bersembunyi dibaliknya, seperti sebuah kesedihan. Aku jadi berpikir, apa yang membuat seorang Andaru yang "mengerikan di luar" menjadi sesedih itu? Apakah harus sama seperti secangkir kopi; harus menyesapnya lebih dulu, atau kalau perlu menghabiskannya hingga tetes terakhir agar dapat mengetahui rasa dari secangkir kopi itu dan memberikan penilaian?

Lantas kumundurkan langkah, memalingkan wajah saat jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Ya Tuhan, ada apa dengan jantungku ini? Seakan jantung ini hendak lepas dari tempatnya. Aku pernah mengalami hal ini saat sedang bersama mantan kekasihku dulu, eh, maksudku lelaki pengkhianat cinta itu. Mengapa sekarang jantungku kembali berulah hanya karena menabrak dada Andaru dan berpapasan dengan matanya itu?

Kulirik Andaru yang berada di sebelah kiriku. Pandangan mata kami bertemu. Lagi dan lagi. Sebelum akhirnya, lelaki berahang tegas itu berpaling.

Lain lagi ceritanya kalau yang menabrak Andaru tadi adalah Nana. Dapat kubayangkan, Andaru akan menahan Nana untuk tetap berada di dekatnya, lalu mereka pun mengobrol sambil sesekali tertawa lepas. Yah, mirip-mirip seperti kebersamaan antara Nana dan Bang Itzan. Tuh kan, pikiranku sudah ke mana-mana. Berhentilah berpikir overthingking, Nahla Sallum!

"Mrs. Deem?" Suara Aciel terdengar dari balik punggungku. Aku pun menoleh. "Kamu baik-baik saja, kan?" tanyanya.

Aku mengangguk pelan.

"Kalau ada pacat yang nempel di kulit, usahakan jangan ditarik pacatnya. Nanti bisa merobek kulit, lho." Aciel menjelaskan.

Oh, aku baru tahu. Ya ampun, di usiaku yang hampir 22 tahun ini, aku baru mengetahuinya. Tak apa-apa terlambat daripada tidak tahu sama sekali, kan?

Aciel kembali bicara, "Kita bisa semprotkan dengan air garam," lanjutnya. Dia melirik Andaru dan berdeham. "Badboy sama pacat itu ... sebelas-dua belas," katanya, yang membuat aku membentuk kerutan-kerutan di kening. Ingin sekali kulirik Andaru lagi untuk melihat reaksinya, tetapi kubatalkan saat teringat kejadian tadi.

"Pacat itu kalau nempel di kulit dan gigit ...." Aciel menjeda ucapannya. "Sakitnya itu tidak akan terasa. Tapi, kalau sudah lepas, barulah kita sadar sudah berdarah."

Uhm, maksudnya? Tadi Aciel bilang ... pacat dan Andaru itu sebelas-dua belas, kan? Apakah ....

Belum selesai aku berpikir, Aciel kembali bicara, "Jadi, berhati-hatilah. Biasanya, kalau lagi jatuh cinta kita tidak akan lihat dari sisi lainnya, walaupun sisi itu buruk sekali pun," lanjut Aciel dan memalingkan wajah ke arah Raina. "Ya, kan, Polos girl?" katanya pula pada Raina kali ini.

Ya Tuhan, aku semakin tak paham. Ada apa dengan mereka?

Caka pun tak mau ketinggalan bicara soal pacat ini, "Lain kali kalau ketemu pacat larinya ke arah aku saja, Sal," katanya, yang membuat aku mengerutkan kening. Emm, maksudnya? "Nabrak sampai aku jatuh terus kita guling-guling kayak film Bollywood juga tidak jadi masalah," lanjutnya, lalu dia tersenyum.

Hah?

Aciel malah menyahut, "Keenakan di kamu itu namanya!"

"Ye ... si 'Enak' saja tidak protes kalau aku mau enak-enakan!" Caka membalas.

Oh ... aku baru paham. Dugaanku ternyata benar. Lelaki bermata sipit ini tak sesuai memiliki nama lapangan '"Goodboy". Lebih cocok dikasih nama "Playboy", sih.

Nah, kalau untuk Andaru ... mmm ... entahlah. Aku belum tahu bagaimana sifat asli lelaki itu. Apakah dia seorang playboy? Ataukah seorang goodboy? Atau malah sadboy? Tidak apa-apa, kan, aku coba menebak-nebak. Siapa tahu salah satu tebakanku ini benar.

Andanan Coffee (Terbit!)Where stories live. Discover now