07. ☕ Sunrise dan Kopi Pesagi ☕

123 50 15
                                    


Tetesan demi tetesan air kopi yang jatuh dari filter Vietnam drip ke dalam gelas sudah seperti jam pasir yang bertugas menghitung waktu. Tetesan demi tetesan air dan kopi yang telah terekstrak itu turun secara teratur, tidak seperti jantungku yang berdegup tak beraturan. Aku mengangkat wajah—beralih dari segelas kopi Vietnam drip di atas meja—dan bertemu dengan sepasang mata itu. Masih tak percaya bahwa pemilik sepasang mata itu baru saja mengutarakan perasaannya kepadaku.

Itu mustahil. Aku menutup mataku rapat-rapat, membukanya lagi, dan menutupnya kembali. Pada akhirnya, aku benar-benar membuka mataku lebar-lebar. Hanya mimpi. Sebuah mimpi yang mampu membuat jantungku berdesir hebat hingga ke dunia nyata.

Cahaya mentari pagi yang menyusup dari pintu tenda membuatku mengerjap berulang kali. Aku yang berbaring pada posisi miring pun lantas bangkit. Soal mimpi itu aku tak ingat secara detailnya. Yang kuingat, Andaru yang sedang duduk di seberang meja tiba-tiba saja mengucapkan kata-kata itu.

"Itu hanya mimpi, hanya mimpi," ucapku lirih. Mustahil lelaki model Andaru itu menyukaiku. Ingat! Semua lelaki bernama Andaru itu berengsek, Sallu!

Semalam, obrolan Andaru dan teman-temannya, yang membahas mengenai foto Instagram dan YouTube, mengantarkanku ke alam mimpi. Pagi ini aku kembali mendengar obrolan Andaru dan yang lainnya saat terbangun. Entah apa lagi yang mereka bahas, aku mendengarnya samar-samar.

Aku menggeliat, melipat selimut yang membungkus tubuhku semalam, lalu bangkit. Ah, ya, Raina yang malam tadi berbaring di sebelahku sudah tak ada lagi. Sepertinya perempuan itu telah bergabung dengan yang lain. Dua pertanyaanku; mengapa Raina tak membangunkanku? Apakah Raina masih menganggapku sebagai "perebut orang yang sedang dia dekati?"

Sebelum menghampiri Andaru dan teman-temannya, aku membasuh muka lebih dulu. Rambut kuikat seperti biasa, kurapikan poni tipisku. Benar saja. Raina memang berada di dekat Andaru. Keduanya sedang asyik mengobrol.

Berjarak sekitar satu meter dari Andaru dan Raina, ada juga si Aciel, Bahi, Shofwanul, dan Caka. Mereka semua membelakangiku, menikmati keindahan matahari terbit.

"Pagi, Sal," ucap Aciel ketika menyadari kedatanganku. Yang lain pun ikut menoleh. Termasuk Andaru yang sedang bersedekap di sana.

Aku buru-buru memalingkan wajah ketika bertemu dengan mata Andaru. Tatapan mata itu lagi!

"Mimpi indah semalam, ya?" tanya Aciel, setelah itu mengedipkan sebelah matanya.

Ah, indah dari mana? Bermimpi Andaru bilang "suka" bukanlah sesuatu yang bisa disebut "indah", bukan?

"Kuharap kamu bermimpi Abang Andar—" Aciel berhenti bicara sejenak. "Ehm, maksudku, memimpikan si Badboy."

Kok, Aciel bisa tahu?

Tiba-tiba saja sebuah ranting mengenai kepala Aciel. Aku ikut terkejut.

"Aduh! Siapa, sih?" Aciel memutar badan sambil menggosok-gosok kepalanya yang terasa sakit.

Tebakanku, Andarulah pelakunya. Andaru tak terima dengan ucapan Aciel barusan.

"Cuma bercanda, Bro! Santai sedikit, lah," gerutu Aciel pada Andaru.

Andaru mengganti posisi tangannya. Dia berkecak pinggang sambil memalingkan wajah.

Shofwanul, yang pagi ini kembali bersama kamera kesayangannya, pun bicara, "Hei, lanjut tidak foto-fotonya ini?"

Caka langsung menyahut, "Lanjut, lanjut! Aku lagi, ya, yang foto sama sunrise?" Caka langsung saja mengambil posisi paling depan. Dia berdiri menyamping dan mengangkat tangan kiri. Seolah matahari berada di telapak tangannya itu.

Andanan Coffee (Terbit!)Where stories live. Discover now