10. ☕ Air Mata Pada Secangkir Kopi ☕

128 48 12
                                    

"Bagaimana rasanya mendaki gunung?" tanya perempuan itu pada lelaki di depannya.

"Rasanya itu ngeri-ngeri sedap. Mirip-mirip kayak gebetan, lah," jawab si lelaki.

"Maksudnya?" Si perempuan bertanya lagi.

Mendengar percakapan itu, aku hanya diam saja. Kusuguhkan dua gelas kopi Vietnam drip di atas meja, lalu tersenyum tipis sebelum berlalu dari kedua pengunjung itu.

Obrolan kedua orang itu mengingatkanku pada Andaru dan teman-temannya. Apa kabar mereka berlima? Ah, ya, baru saja beberapa hari yang lalu mereka kembali ke Palembang. Beberapa hari yang lalu juga, aku mengomentari status WhatsApp Aciel. Bukannya mengabulkan permintaanku agar dia menghapus statusnya itu, tetapi malah membalas "Percuma saja dihapus, sudah dilihat oleh 25 orang. Termasuk calon mempelai laki-laki".

"Sal, lihat jalan. Entar nabrak." Suara Nana membuyarkan lamunanku.

Aku mengembalikan nampan ke atas meja.

"Mikirin siapa? Andaru?" Nana menggodaiku.

"Tidak," jawabku cepat, walaupun "iya" juga, sih. "Soal buku itu," lanjutku. Pandangan mataku berpindah pada etalase kecil di meja paling ujung, yang berisi bermacam kue buatan Ghea dan ibunya.

Tiba-tiba saja Nana bernyanyi. "Buku oh buku, kenapa kau tak tampak? Macem mane aku nak tampak, aku dipeluk Itzan ...."

Kutatap Nana, yang baru saja selesai membuat kopi V60 di sebelahku, dengan pandangan jengkel. Apalagi dengan lagu yang baru saja didendangkannya itu. Apa katanya? Buku catatanku dipeluk Bang Itzan? Oh Tuhan, semoga saja tidak. Aku geli membayangkannya, eh, maksudku membayangkan dipeluk Bang Itzan. Jikalau benar Bang Itzan yang menemukan buku itu, pasti sudah dikembalikan dari kemarin, kan?

"Sal, aku sarankan, kamu buat sayembara saja," usul Nana.

Aku, yang baru menatap ke meja-meja berwarna cokelat tua di pelataran booth, lantas berpaling ke arahnya.

"Siapa yang menemukan buku itu, maka dia akan menjadi suamimu," lanjut Nana.

"Kayak di film-film saja," gerutuku.

Nana tertawa pelan. Lalu, dia lekas membawa pesanan kopi V60 ke sebuah meja paling kiri dari booth. Ada seorang lelaki bersama istri dan anaknya yang masih balita di sana.

Saat Nana kembali ke dalam booth, aku pun bicara, "Kalau mau pulang, pulanglah," kataku pada Nana. "Sekarang sudah jam lima lewat."

"Iya. Sebentar lagi," sahut Nana. Perempuan yang sekarang mengenakan atasan kemeja putih dengan garis-garis biru itu meraih tas bahu miliknya. "Sal," katanya, menarik kursi ke sisiku dan duduk di sana. "Coba tebak, siapa cewek yang duduk di meja sebelah kiri itu?"

Perkataan Nana jelas menyebabkan keningku berkerut. Aku kembali menatap lelaki yang sedang bersama perempuan dan anak balita itu.

"Istrinya ... mungkin?" jawabku ragu. Kenapa Nana bertanya demikian?

"Betul," ucap Nana.

"Terus ... masalahnya apa, Nana?" Aku bertambah bingung. Suami, istri, dan satu anak. Kan, biasa saja.

"Masalahnya itu, dia adalah istri muda."

Alisku yang tadi menyatu malah terangkat.

"Kamu kenal?" tanyaku.

Nana menggeleng.

Alisku yang terangkat, sekarang menyatu lagi. "Dari mana kamu tahu kalau dia istri muda?"

"Sewaktu aku menyuguhkan kopi tadi, ponsel yang ada di atas meja mereka berdering. Aku tidak sengaja lihat ke layarnya. Dan ... tulisannya di sana 'istri tua'. Dua kali istri tuanya telepon, lho. Tapi, tidak diangkat-angkat."

Andanan Coffee (Terbit!)Where stories live. Discover now