15. ☕ Jatuh Cinta Pada Secangkir Kopi ☕

146 51 15
                                    

"Ayo, masuk." Nana memulai percakapannya dengan Andaru.

Aku sendiri memundurkan langkah, maunya terus mundur sampai ke dapur dan menyembunyikan wajahku dari mereka berdua.

"Terima kasih," ucap Andaru. Lelaki itu mengayunkan langkah masuk, mendarat di sofa dekat pintu.

Bisikan Nana di dekat telingaku, membuatku sedikit lega. "Tolong buatin secangkir kopi susu dan dua kopi Vietnam drip, ya, Sal," pintanya.

"Dua kopi Vietnam drip?" Lho, bukannya yang datang hanya Andaru?

"Satunya buat kamu," jelas Nana seraya menepuk pundakku.

Ah, iya. Aku lupa dengan diriku yang akan menjadi "racun nyamuk episode kedua" malam ini. Aku harus menghabiskan secangkir kopi agar tidak mengantuk dan tetap bisa menjaga mereka berdua, kan?

Dengan segera, aku kembali ke dapur. Aku berdiri sejenak di antara konter dan rak peralatan kopi sederhana tiga tingkat berbahan kayu 2mx3m dengan cat merah jambu. Pilihan warna yang tepat untuk seseorang yang sedang jatuh cinta seperti Nana, bukan?

Masih sambil berdiri, kuhela napas berulang kali. Andaikan saja aroma dapur dapat kuubah menjadi aroma apel hijau agar aku merasa nyaman di sini, seorang diri. Ayolah, Sallu. Jangan berdiam diri saja. Waktunya membuat kopi Vietnam drip lebih dulu untuk Andaru dan untukmu. Setelah itu, baru segelas kopi susu French press untuk Nana.

Dua gelas bening berpindah dari rak paling bawah ke atas meja. Lalu, dua alat Vietnam drip juga ikut berpindah dari rak paling atas. Satu gelas bening berisi susu kental 45 cc untukku dan satu gelas bening lagi berisi susu kental 30 cc—teringat tulisan pada tisu waktu itu—untuk Andaru. Pikiranku mulai tak sehat jika bayangan Andaru mulai melintasi benak. Sungguh.

Aku mengambil satu bungkus biji kopi bertuliskan "Kopi Liwa". Namun, sebelum menggiling biji kopi, suara langkah seseorang membuatku mendongak dengan cepat dan memundurkan langkah karena kaget. Jantungku berdebar-debar. Ya Tuhan, mengapa dia ke sini? Dia, ya, dia adalah Andaru.

"Mau dibantu?" tanyanya, bersandar pada daun pintu dan membenamkan kedua tangannya ke saku.

Aku berpaling ke rak, seolah ada yang tertinggal di sana. Sana pergi! Temani Nana!

Bukannya pergi dari hadapanku, Andaru malah mendekati meja. "Apa yang harus kulakukan pada dua gelas ini?" Kedua tangannya bertumpu di tepi meja dengan pandangan ke gelas. "Satunya SKM 30 cc, kan?" tanyanya tanpa melirikku.

"Ya, aku ingat." Begitu jawabku, yang membuatku lantas membodohi diri sendiri. Cukup jawab "iya" saja, Sallu! Kenapa pakai kata "aku ingat" segala?

Andaru pun mengangkat wajah, memperhatikan diriku dengan keningnya yang berkerut. Buru-buru aku berpaling dan menetralkan tingkahku sambil menggiling biji kopi.

"Boleh ... aku yang coba?" tanya Andaru setelah kuletakkan hasil kopi yang digiling sehalus pasir pantai itu ke dalam teko Vietnam drip dan ditutup dengan plunger." Maksudku, mencoba menyeduh kopi. Aku ingin coba membuat kopi Vietnam drip untukku sendiri." Lelaki itu berjalan mendekatiku. Dag-dig-dug. Jantungku tak keruan lagi.

"Nana mana?" tanyaku. Nana sendirian duduk di depan? Andaru ini cari masalah atau apa, sih? Kenapa dia tidak mengajak Nana sekalian ke sini?

"Dia sedang teleponan sama temannya. Aku tidak mau mengganggu."

Dugaanku salah. "Oh," kataku. Nana teleponan sama siapa?

Andaru melepas jaket bombernya, membuat parfum dengan aroma yang sama menguar dari tubuhnya. Dia meletakkan jaket itu di sudut meja. Ah, ya, Andaru mengenakan kaus polos berwarna putih yang sama denganku.

Andanan Coffee (Terbit!)Where stories live. Discover now