08. ☕ Ada Apa Dengan Secangkir Kopi? ☕

134 48 19
                                    


Apabila sesuatu yang aku inginkan tidak bisa kudapatkan, justru didapatkan oleh orang lain, maka aku harus berlapang dada. Setiap insan pasti punya kisahnya sendiri, perjalanannya sendiri, dan akhir ceritanya sendiri. Kalimat itu muncul dalam benakku ketika melihat momen "nembak" Raina pada Andaru.

Kata-kata "I love you, Andaru" terus saja terngiang dalam kepalaku. Ah, aku kenapa? Apakah ada yang salah? Dari awal, Raina memang tampak sekali naksir Andaru, kan? Bukan naksir lagi, sih, tetapi lebih ke ... mencintai secara diam-diam dalam waktu yang cukup lama. Ketika melihat bahasa tubuh Raina setelah dia mengatakan perasaannya itu, perempuan itu tampak bahagia sekali.

Aku menghela napas panjang. Kurasa salahnya cuma satu. Aku yang ... yah, tak pernah mengalami hal seromatis itu. Benar. Romantis lagi yang kamu pikirkan, Sallu!

Fokus pada jalan yang dilalui, itu yang kulakukan saat turun dari puncak Pesagi. Beruntung beban di punggungku tak seberat yang dirasakan oleh Andaru dan teman-temannya. Bahkan, kudengar Aciel mengatakan kalau tas gunungnya serasa menjadi dua.

Ah, ya, Raina berjalan paling depan, tetapi tidak bersama Andaru. Perempuan itu tampak seperti ingin secepatnya sampai di Desa Hujung. Di belakang Raina, tampak si Bahi. Kemudian, disusul oleh Shofwanul dan Aciel. Di belakangku ada Caka dan Andaru.

Keningku tentu saja membentuk kerutan. Bayangkan saja. Raina berada paling depan, sedangkan Andaru yang paling belakang. Bukannya mereka berdua baru melewati momen "nembak" di puncak gunung? Lalu, mengapa sekarang terlihat berjauh-jauhan? Seolah mereka berdua tak saling kenal. Ataukah adegan yang kulihat tadi hanyalah sandiwara belaka? Masa iya? Ah, entahlah. Aku hanya ingin pulang, meninggalkan gunung dengan ketinggian 2.262 MDPL ini, begitu yang kulihat pada beberapa foto di kamera Shofwanul, beristirahat selama dua hari dan tidur di kamarku yang nyaman.

Mendadak Caka beriringan denganku, meninggalkan Andaru sendiri di belakang. Saat aku melirik Caka, dia memperlihatkan deretan giginya yang rapi dan putih. Aku sendiri malah memperhatikan matanya yang sipit itu.

"Sal," panggilnya. "Kamu sudah punya pasangan belum?"

Eh? Aku menghentikan langkah.

"Pasangan?" Alisku terangkat. Tiba-tiba sesuatu melintas di pikiranku. "Emm. Ada. Ini," jawabku sambil memperlihatkan trekking pole di tanganku, lalu aku pun menarik sudut bibirku.

Kulihat wajah Caka berubah jengkel. "Aku ini sedang serius, Sallu."

Memang, nada bicaranya terdengar serius ketika mengucapkan kata " aku ini sedang serius". Akan tetapi, sebelum itu, suaranya terdengar bercanda.

"Maksudku, kamu sudah punya pacar belum?"

Aku mengayunkan langkah kembali, Caka menyusul.

"Kalau punya, kenapa? Dan, kalau tidak punya, kenapa juga?" Aku balik bertanya. Hei, memangnya si Caka ini siapa hingga aku harus menceritakan hal sepribadi itu padanya?

"Jawabnya, kok, begitu?" gerutu Caka.

Aku tak menanggapinya karena sedang memilih pijakan yang tepat, mengarahkan trekking pole di tanganku ke tempat yang tidak berbahaya. Kemudian, aku berhenti lagi tatkala beberapa orang muncul dari arah depan. Setelah kuhitung, ada sepuluh orang, sih. Tampaknya mereka juga pendaki. Terbukti dari tas gunung di punggung mereka, di mana terdapat matras dan botol minuman di sana. Juga trekking pole di tangan mereka. Bahkan, dua-tiga orang membawa tas kamera digital.

Mataku tiba-tiba teralih pada salah satu pendaki berkulit putih dan jangkung. Bukan karena aku mengenalinya, tetapi karena orang itu berwajah blasteran. Aku menebak; Australia-Indonesia.

Andanan Coffee (Terbit!)Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum