17

15.8K 2.9K 148
                                    


17 Madu In Training

Daisy tidak ingat bahwa kini dia telah berstatus sebagai istri dari Krisna. Pria tampan itu bahkan menganggapnya tidak pernah ada dan hanya fokus kepada jasad Kartika yang tidak pernah lepas dari pengawasannya. Meski begitu, di antara kesedihan dan rasa duka yang mendalam, Daisy masih sempat mengangkat telepon dari Ummi Yuyun, pengasuhnya yang merasa amat cemas karena seharian dia tidak mendapatkan kabar dari anak asuhnya.

"Desi masih di rumah sakit, Mi. Mbak Tika meninggal jam tiga subuh tadi." Daisy mengusap air mata. Tisu yang berada dalam genggamannya telah lembab dan dia melemparkan benda itu ke dalam tong sampah sementara dari seberang, Ummi Yuyun mengucap istirja' atau tarji, "Innalillahi wa innailaihi rojiun." Terdengar juga isak tangis yang membuat Daisy tidak kuasa juga kembali menangis. Bagaimanapun juga, selain Daisy, Kartika adalah anak asuhnya, salah satu yang paling pertama sejak panti asuhan berdiri. 

"Ummi mau ke sana, ya? Sekarang mau beres-beres dulu sekalian bawa baju-baju kamu."

Ummi Yuyun amat perhatian kepada setiap anak asuhnya. Dia juga ingat bahwa sejak kemarin, Daisy belum sempat berganti pakaian. Wanita muda itu sudah bisa dipastikan tidak bisa berkutik ke mana-mana, karena setelah ini, dia akan menemani keluarga Kartika termasuk ikut ambil bagian dalam prosesi pemakaman dan sebagainya. Belum-belum, Ummi Yuyun sudah bisa membayangkan seperti apa kerepotan yanh dialami keluarga yang ditinggal. Sudah mengalami kesedihan akibat kehilangan, mereka juga harus mengurusi ini dan itu. Untunglah, Kartika memiliki banyak orang yang amat mencintainya dan hal tersebut membuat Daisy merasa sedikit iri, akan seperti itu jugakah keadaan saat dirinya meninggal nanti?

"Nanti aja, Mi. Pas ke rumah Mbak Tika. Mas Krisna sedang urus administrasi dan nunggu ambulans. Desi sama Gendhis berangkat duluan, soalnya mau nyiapin yang di rumah sama ngasih tahu Pak RT."

Ummi Yuyun yang mengerti kemudian menutup panggilan dan Daisy sendiri, setelah berusaha menyusut air mata, mendekat ke arah Gendhis yang menunggu di dalam mobil Krisna. Dia akan membawa mobil abangnya pulang sementara Krisna dan kakak tertua mereka, Airlangga, akan ikut dalam mobil jenazah bersama Bunda Hanum yang sudah berada di rumah sakit, menghibur putra semata wayangnya yang kini amat berduka.

"Nggak apa-apa aku ikut, Dhis? Nanti Bundamu marah. Beliau masih nggak suka sama aku… " tanya Daisy di depan pintu penumpang sebelah sopir. Gendhis sendiri yang menutupi kedua matanya yang sembab dengan kacamata hitam segera menghela napas.

"Naik, Mbak. Nggak usah banyak cing cong. Aku udah capek nangis dan mesti bawa mobil pas sedang oleng gini, bisa bikin kita nabrak. Jangan bahas Bunda dulu. Ada Mas Krisna yang bakal ngunci bibir beliau. Kita mesti buru-buru pulang."

Daisy sebenarnya tidak bernyali untuk datang ke rumah Kartika dan Krisna. Dia masih belum mempercayai statusnya saat ini yang telah menjadi istri kedua Krisna. Toh, mereka hanya menikah siri dan tanpa dibayangkan, dia sudah pasti merasa yakin, pandangan orang kepada dirinya saat tiba di sana akan sangat berbeda. Bagaimana bisa ada wanita mendampingi Krisna sementara mereka semua tahu, dia memiliki istri yang sekarat? Kapan mereka menikah? Dan lain sebagainya. 

Tetapi, karena Gendhis sudah amat tidak sabaran, Daisy mengesampingkan semua pikiran negatif tersebut termasuk perasaan canggung kembali berada di dalam mobil milik pria yang semalam sudah merenggut kegadisannya dengan paksa.

Gara-gara itu juga, air mata Daisy mengalir kembali. Andai dia sempat bertemu Kartika, andai dia sempat bercerita, Kartika pasti akan menyuruh mereka berpisah. 

Ya Allah, Mbak. Aku belum sempat kasih tahu, semalam suamimu memperkosa aku, nggak cuma sekali. Aku juga dilecehkan. Dia kayak balas dendam karena marah Mbak jodohkan dengan aku.

"Maaf kamu jadi ikut repot, Mbak." Gendhis mengusap bahu Daisy, berusaha menguatkan kakak ipar barunya tersebut padahal dirinya sendiri tidak cukup kuat untuk menerima kenyataan ini sekalipun tahu, umur Kartika memang tidak tersisa lama. Cepat atau lambat, wanita cantik nan baik hati tersebut pasti akan berpulang.

"Mbak Tika kakakku juga. Bagian mana yang disebut repot kalau selama ini dia mengurus aku melebihi dirinya sendiri."

Mobil yang mereka duduki sekarang memang masih berada di parkiran. Gendhis sepertinya belum sanggup menjalankan kendaraan tersebut dan mereka berdua larut dalam isak tertahan. Daisy bahkan sempat menyerahkan dua helai tisu untuk Gendhis dan mengambil dua helai juga untuk dirinya sendiri. Mereka berdua kemudian larut dalam duka masing-masing selama beberapa menit hingga akhirnya, Gendhis kembali berbicara karena dia tidak tahan dengan keheningan ini. 

"Puas kamu, Mbak? Mimpimu tercapai. Suamimu kawin sama Mbak Desi? Mati dengan senyum, ya, kamu? Terus, kamu nggak mikir, kami yang ditinggal nggak sedih? Egois, mau menang sendiri. Sok kuat, sok hebat, sok ngatur, tapi, badanmu sendiri kamu nggak urus. Kamu jahat!"

Gendhis menarik napas sementara Daisy yang memandangi jalan, tidak berhenti mengusap air matanya. Bila ada hal yang mesti dikatakan tentang Kartika, biarlah dia menyimpan semuanya di dalam hati. Kartika sudah pergi dan dia hanya akan mengatakan sesuatu yang baik-baik kepadanya. 

"Terus aku curhat sama siapa kalau berantem sama Bunda? Cuma kamu yang mau nerima aku sampai tengah malam. Aku ngadu sama siapa lagi, Mbak?" 

Bahu Gendhis naik turun. Tangisnya makin kencang dan dia yang frustrasi karena gagang kacamatanya terus naik turun akhirnya melemparkan benda tersebut ke dashboard lalu menyusut ingus.

"Mbak Desi, tuh, beda. Orangnya nggak gaul. Kaku, kuper. Kalo diajak ngobrol tentang fashion, tentang makanan, dia bengong. Beda sama kamu."

Daisy yang mulanya sedang serius mendengar curhat Gendhis mendadak menoleh kepada iparnya. Bukan dia tidak melek fashion atau dunia kuliner. Hanya saja, dia cuma terlalu paham teorinya saja. Pakaian yang dia punya itu-itu saja sekalipun dia tahu seperti apa tas ori keluaran Vietnam, Kamboja, Indonesia, atau Filipina. Tentang makanan juga seperti itu, tapi, dia tidak pernah menghabiskan uangnya buat makan di restoran. Toh, setiap hari dia selalu makan bersama dengan penghuni panti dan walau menunya amat sederhana, baginya begitu nikmat.

 Gendhis baru tenang sekitar lima menit kemudian. Itu juga karena abangnya, Airlangga menelepon dan menyuruhnya segera ke rumah Krisna. Gendhis menurut dan setelah membersit ingus untuk yang terakhir kali, dia menginjak pedal gas dan mulai menjalankan mobil keluar dari pelataran parkir.

***

Madu In TrainingWhere stories live. Discover now