31 Madu in Training
‘Hei, ngapain kamu ke sini?”
Setelah Krisna, suara Bunda Hanum selalu berhasil membuat Daisy seperti terkena serangan jantung. Sejak awal wanita itu tidak pernah mendukung hubungan Daisy dan Krisna. Meski begitu, Daisy menguatkan hati untuk mendekat dan mencium punggung tangan mertuanya walau pasrah, daripada mendapat uluran tangan, dia mendapati sikap cuek Bunda Hanum ketika tangannya sudah terjulur.
Krisna mungkin sedikit lebih baik daripada ibunya sendiri karena pria itu masih menerima uluran tangannya tadi.
“Desi dijemput Gendhis, Bun.”
“Udah bagus tadi Krisna ninggalin kamu di rumah, eh, tahunya malah nekat mampir. Ini acara keluarga, bukan orang luar kayak kamu, anak panti.”
Daisy tidak heran lagi dari mana Krisna mendapatkan keahlian bersilat lidah miliknya yang amat ampuh menghujam jantung Daisy dengan kata-katanya. Meski saat ini, wanita berusia lima puluh delapan tahun tersebut memakai jilbab dan gamis yang menutupi tubuhnya rapat-rapat dari kepala hingga ujung kaki, nyatanya tidak mampu membuatnya untuk menjaga lisan sama sekali dan yang bisa Daisy lakukan saat itu hanyalah membuka tas cangklong miliknya dan mengeluarkan sebuah amplop berisi beberapa puluh lembar uang ratusan ribu hasil kerjanya selama satu bulan kepada wanita itu.
"Iya, Bun. Desi nggak enak aja tadi Gendhis tahu-tahu sudah nongol. Ngomong-ngomong, ini buat jajan Bunda."
Daisy menekankan kata jajan sedemikian rupa agar Bunda Hanum tahu, uang yang dia kumpulkan hingga rela bergadang, khusus untuk dia seorang dan gara-gara itu juga, Daisy sempat melihat kilasan senyum di bibir berpulas gincu merah cabai milik ibu mertuanya yang membuat wajahnya semakin putih berseri.
"Nah, kebetulan. Kirain kamu nggak tahu." balas Bunda Hanum. Dia mengira-ngira tebal uang di dalam amplop tersebut lalu bicara lagi.
"Mentang-mentang sudah nikah, jangan kamu kira suami kamu itu milik kamu, tok. Dia itu masih milik ibunya. Hakmu cuma sekian persen. Duitnya juga. Jangan sampai perutmu kembung karena kebanyakan menyembunyikan uang Krisna… "
Ya ampun. Sampai bagian sini juga, Daisy dibuat terperangah. Krisna benar-benar cetakan bundanya tercinta. Ucapan mereka tentang uang dan sebangsanya membuat Daisy merasa amat muak. Tidak heran juga, Kartika kemudian selalu menghadiahinya dengan tumpukan uang seolah sumber kebahagiaan di dalam hidup hanyalah bergepok-gepok nominal lembaran seratus ribuan.
Bunda Hanum saja langsung meninggalkan Daisy dengan senyum dan tanpa ragu mengendus aroma uang yang masih berada di dalam amplop yang tersegel. Untung saja Daisy tidak memasak sambal terasi tadi. Karena jika iya, sudah pasti aroma tangannya yang menyegel perekat pada penutup amplop tersebut bakal membuat mertuanya mengoceh lagi.
Pantas Mbak Tika ngasih segala macam amplop, ATM, malah ada khusus yang buat Bunda.
Memangnya jatah dari Mas Krisna kurang sampai Bunda masih minta sama menantunya? Dia kira aku ngabisin duit anaknya? Nggak lihat kalau yang aku pakai sekarang cuma gamis butut? Makan aja cuma Pop Mie sama telur rebus.
Tapi, Daisy kemudian mengucap istighfar, seolah dengan kata-kata barusan dia seolah tidak ikhlas memberikan gajinya kepada Bunda Hanum. Bukan itu sebenarnya yang membuatnya tidak habis pikir, melainkan ucapan kalau anak lelaki adalah milik ibunya. Memangnya, selama ini Krisna milik siapa? Toh, kenyataannya, memang sang mertua yang melahirkan dan membesarkan seorang Krisna Jatu Janardana sehingga sifat mereka berdua pun terasa amat mirip di mata Daisy.
Daisy amat bersyukur ketika akhirnya dia berhasil menemukan iparnya, Gendhis, sedang mengunyah sebuah apel di dapur. Untung saja saat itu beberapa sanak saudara Krisna mengenalinya dan tanpa ragu menunjuk ke arah dapur ketika Daisy bertanya tentang keberadaan Gendhis. Gadis itu adalah penyelamatnya di banyak kesempatan dan karena Gendhis juga dia hampir tidak pernah merasa sendirian meski ditinggal oleh Kartika.
