45

18.9K 3.9K 388
                                    

45 Madu

Kedatangan Krisna menjelang waktu salat Magrib ke rumah Bunda Hanum membuat Daisy sedikit bernapas lega. Seharian dia tidak mendapat kabar dari suaminya dan Gendhis hanya mengatakan kalau Krisna sedang sibuk dan berada di luar kantor sehingga Daisy kemudian berpikir kalau mungkin sang suami tidak sempat membalas pesan darinya. Tapi, pria itu juga tidak banyak bicara saat mereka bersama. Sewaktu tiba, yang dicari oleh Krisna hanyalah sang bunda. Dia juga tanpa ragu membawakan beberapa kantong kresek bermerk sebuah supermarket ternama yang kemudian diketahui oleh Daisy berisi buah-buahan. 

"Suruh si Desi bersihin. Kerjaannya tidur aja dari tadi." 

Daisy masih menggunakan mukena milik Gendhis begitu dia keluar dan mendengar obrolan ibu anak tersebut. Krisna tersenyum sambil membiarkan sang ibu membelai lengan kanannya selagi mereka berdua berjalan dari pintu rumah menuju ke ruang tengah. Ada beberapa orang anggota keluarga Janardana di sana, termasuk adik Bunda Hanum yang bernama Nurlaeli yang menggelengkan kepala melihat kelakuan sang kakak.

"Sudah. Jangan diambil hati." bisiknya kepada Daisy yang bersiap menyongsong suaminya. Krisna sendiri hanya melemparkan tatapan kepada Daisy sebelum akhirnya memberikan kantong kepada wanita itu, lalu mengulurkan tangannya untuk dicium.

"Mas, sudah makan?"

Krisna menggeleng pelan dan memilih untuk ikut duduk bersama Bunda Hanum yang saat itu memakai setelan gamis dan jilbab syari amat cantik dengan hiasan mote dan draperi yang membuatnya mirip seperti seorang permaisuri dari Arab. Mereka berdua bersila di depan televisi sementara Daisy pada akhirnya memilih membawa oleh-oleh dari Krisna ke dapur untuk dibersihkan dan ditaruh di keranjang buah. 

"Buah dari siapa, Mbak?" 

Gendhis yang tahu-tahu nongol ke dapur menjulurkan tubuh sambil meletakkan kedua tangan ke atas kitchen island. Dia juga tidak ragu mengambil sebuah apel yang baru kelar dicuci dan mengunyahnya dengan wajah seperti orang lapar. Daisy sampai heran melihatnya. Bukankah tadi Gendhis sudah makan bakso?

"Mas Krisna. Bawa buat Bunda."

Dilema. Biasanya Gendhis tidak bakal mengunyah makanan apa saja yang punya label nama milik bundanya. Tetapi, karena yang membeli adalah abangnya, mau tidak mau dia merasa apel yang berada dalam genggamannya adalah milik Krisna sehingga sah-sah saja buat Gendhis makan. Daisy sendiri, hanya diam meski dia sedikit penasaran dengan sikap iparnya tersebut. 

Belum selesai Daisy memindahkan buah ke dalam keranjang, sosok Krisna tahu-tahu muncul ke dapur. Dia terlihat sedang senang hingga berhasil mengacak-acak surai Gendhis yang tergerai. Tentu saja sang adik langsung mengamuk karena tidak suka dengan perbuatan sang abang. Krisna sendiri mengambil tempat duduk di sebelah Gendhis dan melirik Daisy dengan penampilan anehnya, masih dengan mukena, padahal waktu salat Magrib masih lima belas menit lagi.

"Makan, Mas? Bukan Desi yang masak."

Suara Daisy tidak keras. Cukup untuk didengar oleh suaminya. Tetapi, di sebelah pria itu ada sang adik yang merasa ikut sedih. Kok, bisa-bisanya ada manusia sebodoh Krisna, karena tidak mau makan masakan istrinya sendiri.

"Ntar aja. Habis Isya."

Nah, begitu, kan enak." Gendhis menyahut. Dia mengunyah apel sambil memainkan alis sebelah kanannya, membuat Krisna menoleh heran akan kelakuan adik bungsunya tersebut.

"Lo kenapa, sih?" 

Gendhis mengedikkan bahu, tetapi, sesekali tetap melemparkan tatapan sebal kepada sang abang. Daisy sendiri entah kenapa tahu-tahu menyorongkan segelas air kepada suaminya dan Krisna yang terlihat haus segera minum air pemberian istrinya tanpa ragu.

"Awas dijampi-jampi sama Mbak Des… "

Air tersembur dari mulut Krisna dan Daisy sendiri mencubit lengan Gendhis yang terkikik geli dengan ucapannya sendiri.

"Sembarangan aja kamu, Dhis."

"Abis ini, giliran air pemberian kamu, nggak diminum Mas Krisna."

Daisy menghela napas. Dia menyudahi menyusun buah dan mencuci tangan. Dengan wajah menahan malu, kemudian dia bicara kepada suaminya, "Desi salat dulu di kamar Dhis, Mas."

Daisy cepat berlalu dan tidak lagi menoleh ke arah Gendhis maupun Krisna. Kedua pipinya merona dan Gendhis yang merasa tidak ada lagi orang yang menahannya bicara, pada akhirnya mulai memuntahkan kekesalannya kepada sang kakak. 

"Lo, tuh, ye, kelewatan. Masak udah nikah, Mbak Desi mainnya di kamar gue melulu. Nggak di sini, nggak di rumah lo. Apa dia emang nggak punya tempat di mana-mana sampai numpang di kamar gue? Wanita kalau menikah itu, ya, jadi ratu. Bukan jadi anak kost. Amit-amit, jangan sampai, deh, ntar gue nikah, diperlakukan kayak lo memperlakukan Mbak Desi."

Krisna meletakkan gelas ke atas kitchen island, lalu memandangi wajah Gendhis yang tampak masa bodoh dengan tatapan sang abang. Tapi, kemudian dia bicara lagi, "Lo dititipin sama Mbak Tika buat jadiin dia bini. Gue bukannya mau ikut campur, ya. Cuma, kasihan aja sama dia. Sebelum kalian nikah, dia itu kayak tepung beras Rose Brand, lo tahu, putih, bersih, berseri. Sekarang, apa? Dia sama kain lap kotor di warteg, masih bersihan kain lap. Desi temen gue, Mas. Sebisa mungkin gue mau di sebelah dia. Tapi, nggak bisa."

"Lo ngaco. Ngerepet terus. Tahu, nggak, kalau ada yang tingkahnya aneh-aneh dekat Magrib, biasanya … " Krisna berhenti bicara karena Gendhis nyaris melemparnya dengan apel di dalam genggamannya. 

"Lagian, Desi aja nggak sewot. Kenapa jadi lo yang mau protes."

Gendhis yang geram dengan kelakuan sang abang, langsung berkacak pinggang. Untung saja dia tidak menunjuk batang hidung pria itu dengan jari telunjuk atau yang lebih parah, jari tengahnya.

"Lo, gila. Apa mesti Mbak Desi teriak-teriak sampai hampir mati supaya lo tahu dia butuh kasih sayang lo? Asli gue gedeg, sumpah. Pantes aja dia kurusan. Makan hati punya suami kayak lo."

Krisna menyugar rambutnya ke belakang, lalu menoleh ke arah jam dinding yang tergantung tidak jauh dari posisi mereka berdiri saat ini. Dua menit lagi azan berkumandang dan Gendhis masih berada di tempat.

"Mandi sana. Salat!" perintah Krisna, "Mau jadi apa anak perawan belum salat. Malu sama bini gue."

Huh, Gendhis berdecak. Saat Krisna sudah berbalik dan menggulung lengan kemejanya, dia bicara lagi dengan suara santai, "Bini? Untung aja pas ngamar kemaren nggak digrebek SATPOL PP. Kalau disuruh nunjukin bukti nikah, pasti nggak bisa."

Krisna hanya menoleh ke arah Gendhis. Dia seolah hendak mengatakan sesuatu, tetapi memilih berjalan ke kamar mandi untuk berwudu, tidak peduli Gendhis menunggu balasan sang abang yang menurut Daisy, amat pandai bersilat lidah saat mereka sedang bersama. Tetapi, seperti sifat abangnya yang selalu dia lihat sejak dirinya masih kecil, Krisna tidak banyak bicara dan lebih memilih menghindari konflik.

Cukup aneh. Cuma, dia tahu, Daisy tidak bakal berbohong dan wajah sahabatnya yang selalu lesu adalah bukti perlakuan Krisna kepadanya amatlah tidak baik. 

Lihat aja, Mas. Gue udah beli tespek. Bakal gue paksa Mbak Desi periksa. Lo bilang nggak mau punya anak, kan? Gimana kalau lo tahu istri siri lo hamil? Apa yang bakal lo perbuat dengan anak di dalam perutnya? Lo bilang mau suruh Mbak Desi abor*i bayinya? Mana mungkin lo berani. Nabrak kucing aja, lo demam tiga hari, Mas. Ini anak sendiri. Darah daging lo, Krisna Jatu Janardana. 

Nggak mungkin lo bakal segila itu.

***

Ojo lali, follow Instagram EriskaHelmi, ya.

Akun eke di KBM app dan Karyakarsa tetap EriskaHelmi

Madu In TrainingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang