Fragmen 3.0 | Ambisi

62 5 2
                                    

"What the superior man seeks is in himself; what the small man seeks is in others."

-- Confucius, Lun Yu.

<<<>>>

Di tengah-tengah hujan rintik dan padang rumput, Lintang Punarbawa tergeletak kedinginan.

Wajahnya menengadah menuju kedalaman mega-mega, sepasang netra sayunya berupaya menyelam ke salah satu celah di antara gumpalan kapas-kapas raksasa. Air matanya meleleh, meluncur selambat bola salju di lereng gunung mati yang tiba-tiba meletus dahsyat.

Rambut hitam legamnya lusuh, nyaris kering kerontang, memeluk erat gugusan rumput di taman kota. Pun juga bibir semerah mawarnya, kini memucat dan memudar layaknya lapisan cat yang belum semenit sudah disiram air panas. Berulangkali, laki-laki ber-hoodie hitam itu dengan susah-payah menjaga agar dua sisi kelopak matanya tak saling bersentuhan. Dengan demikian, ia tetap bisa menjerat seluruh dirgantara dalam sudut pandangnya.

Napas Lintang agaknya semakin lama semakin redup. Ia bersumpah mampu mendengar jelas arus darah dari dalam telinga menuju jantungnya. Ujung jari-jemari lelaki itu lemas nan pucat, sedikit demi sedikit menggerogoti bagian tubuh lain. Selimut rumput di bawah punggungnya tak membantu sama sekali, malah lebih terasa seperti ladang jarum.

Pernah merasakan perutmu dipelintir, dari satu bagian ke bagian lain?

Itu yang kini Lintang rasakan. Ia ingin memuntahkan seluruh isi perut, tetapi yang keluar hanya air liur. Tidak peduli apa posisi yang diambil laki-laki tersebut, selalu ada seutas rasa gatal, pahit, dan masam di pangkal kerongkongannya. Lambungnya seakan-akan berteriak untuk dirogoh dengan tangan kosong. Mungkin karena ia sering telat makan akhir-akhir ini. Mungkin juga tidak.

Lintang sebenarnya menghendaki agar kedua matanya tertutup, barang beberapa menit saja. Ia ingin mengawasi dirinya di masa lalu—bertaut erat dengan kenangan-kenangan manis selama ia berkarir di ujung barat Jawadwipa. Ia ingin menatap wajah kolega—tidak, kawan-kawannya lagi. Untuk bisa bersenda gurau di depan api unggun, bernyanyi diiringi alunan nada dari gitar sembari mereguk secangkir kopi. Mungkin nanti, jika percakapan sudah mencapai puncaknya, mereka akan berargumen sedikit, mengalah kemudian, sebelum terlelap di bawah genangan gemintang dalam rahim ibukota. Ia ingin sekali kembali ke masa-masa itu.

Laki-laki itu merasakan kepedihan di tengah-tengah keramaian, tetapi tidak ada seorang pun yang tampak memberi muka padanya. Bukan karena tak sudi, tetapi lebih karena mereka tak mampu. Bagaimana bisa mereka menolongnya, sedangkan mereka sendiri tidak tahu ia siapa?

Suara tapak kaki tiba-tiba menyembul dari kejauhan. Langkahnya pasti dan tegas, layaknya seekor singa tua yang tak khawatir mangsa buruannya hendak kabur atau dicaplok predator lain. Jantung laki-laki itu semakin berdebar kencang. Alarm firasatnya berbunyi kencang. Ia tak tahan lagi. Ia ingin enyah segera.

Lintang menutup kedua matanya dalam-dalam.


<<<>>>


"Diriku, katakan untuk apa saya mesti lahir."

"Pertanyaan bodoh."

"Kenapa bodoh?"

"Bukankah kamu dilahirkan hanya untuk mengabdi Tuhan-Mu? Bukannya itu sejelas-jelasnya alasan bagimu?"

"Saya tidak minta dilahirkan."

"Kamu tidak bersyukur? Nikmat Tuhan-Mu yang mana yang kau dustakan lagi?"

Kesaksian FulanWhere stories live. Discover now