Fragmen 6.0 | Parak

19 5 0
                                    

A hole torn in the fabric of the world,

the web, the whole infernal weave

through which life-giving rain is falling

but mixing with the tears and with the blood.

--Nathaniel Tarn, Unravelling / Shock.

<<<>>>

Sisa-sisa kilat entah kilat ke-berapa bercabang dan menerobos masuk melalui kaca jendela kamar Lintang Punarbawa, lalu terpantul melalui dinding kusamnya, dan menggelepar di udara dalam sekejap. Laki-laki itu terkesiap, bibirnya melumat umpatan setengah matang. Dihitungnya langkah kilat itu sembari mengetukkan jari ke paha. Satu, dua, tiga--

Gemuruh nyaring akhirnya pecah juga, menggetarkan kisi-kisi jendela dan persendian dinding kamar. Kepala Lintang menengadah ke atas, pandangannya mendarat tepat ke salah satu noktah di langit-langit, kemudian teralihkan menuju timba di salah sudut ruangan.

Dari sekian banyak jarum bening yang menggilas trotoar berdebu dan kaca bangunan siang itu, terselip satu perasaan yang urung rampung dicerna Lintang Punarbawa. Ah, benar, kesendirian, dilapisi dengan balutan rasa khawatir dan bingung. Namun, kali ini bukan kesendirian seperti biasanya, dengan diselingi pendar layar gawai, lalu-lalang kendaraan, atau riuh taruhan bola di ruang tamu indekos, bukan. Rasa ini persis seperti ular berbisa, sudah dipukul berkali-kali, tetapi tetap kembali untuk membelit pergelangan kaki pria itu. Ular berwarna hitam, hinggap di celana hitam, pada tengah malam pula. Lebih buruknya lagi, ia bingung harus memilih: fight or flight?

Munafik namanya kalau insting hewani ini tidak tercecer dalam rongga-rongga hati nurani Lintang. Lagipula, ia hanya manusia biasa, nyaris sama seperti penghuni indekos lain—masih mengenakan cetakan sama setelah proses evolusi secara fisik dan kognitif sepuluh ribu tahun lamanya—hanya saja detailnya sedikit berbeda. Usai sekian lama hidup bersuku-suku, mengelilingi api, menanam dan berburu, kini mereka dipaksa hidup di tengah-tengah keramaian kota dengan seratus ribu suara yang tak saling mengenal satu sama lain. Seratus ribu suara tersebut sibuk mempernyaman diri dalam kotak-kotak kerja, mencari sambungan virtual, berharap ada satu individu super spesial yang akan menyapu habis himpunan debu dari kotak kehidupannya.

Gita. Perempuan berambut lebat dan lurus itu kini menjadi kuil persembahan bagi Lintang untuk mengorbankan hatinya. Ada sekelibat rasa yang turut menyambar-nyambar dalam napas laki-laki tersebut tiap kali ia melihat Gita mengikat rambut dan berlari di salah satu ruang terbuka hijau, rasa itu membuat pandangannya ingin terlelap di antara bulu-bulu kelopak mata lentiknya. Sudah hampir tiga tahun mereka bersama sejak pertama kali berkenalan di bawah pohon kepel yang tengah bersemi—saat dedaunan hijau dan merah berselang-seling meminum cahaya matahari. Gita tampaknya asyik memelototi papan nama pohon yang ditanam setahun sebelum pandemi. Lintang menyapa gadis itu, mengajaknya bergabung menuju kelompok ospek jurusan yang baru saja dibentuk. Gadis itu mengangguk dan mengiyakan. Pagi itu, Lintang sendiri tak pernah berpikir kalau pertemuannya dengan Gita menjadi titik awal terciptanya band mereka. Setidaknya untuk ukuran band indie, Lintang menganggap napas mereka hanya sampai di Makrab waktu itu, sebelum tercerai-berai tanpa jejak. Nyatanya, ia salah besar.

Sekarang, ketika pamor mereka sedang naik daun, Lintang menjadi semakin merasa bersalah. Ia ingin percaya kalau semua ini hanya lelucon besar yang disusun oleh teman-temannya sendiri. Kepala Lintang semakin lama semakin pening. Laki-laki itu menggerutu dan menggumam pelan, benaknya mencari-cari kesalahan yang bisa ia angkat ke permukaan. Apakah karena ia terlalu berambisi menaklukkan London dengan lagu-lagunya? Atau karena kemarin ia lupa memberitahu Gita kalau isi botol martini di kulkasnya tinggal setengah? Tidak, kalaupun itu hanya sebuah elaborate prank, buat apa Gita memblokir nomornya?

Kesaksian FulanWhere stories live. Discover now