Fragmen 1.5 | Insubstansial

1.1K 74 36
                                    

Lift your head out of this hurricane to find solace and tranquillity. If you stay caught in the storm, your head will whirl as fast as a millstone and you will know so little peace that even a single fly can buzz away your peace. 

-- Fariduddin Attar, The Conference of the Birds.

<<<>>>

Alkisah, ada seorang pria paruh baya terpikat oleh sebuah buku yang ada di dalam rak paviliun rumahnya. Saking usangnya, judul buku tersebut terlalu buram untuk bisa dibaca. Laki-laki itu menyadari, kemungkinan besar buku ini diwariskan turun-temurun dari bapaknya. Ia lalu membuka lembaran-lembaran kuningnya dan menemukan penggalan sebuah kisah mengenai pembunuhan seorang kritikus yang tidak disebutkan namanya. Sepertinya menarik.

Di dalam penggalan cerita itu, dikisahkan sang Kritikus jatuh, nyaris sekarat, dan bersimbah darah di depan halaman sebuah tempat ibadah. Manusia-manusia lain yang mengelilinginya--disebut di sana sebagai Tarup Kalis--menatapnya dengan tatapan jijik. Dikatakan bahwa mereka sudah seperti hewan buas, siap memangsa, merobek-robek, bahkan menelanjangi sang Kritikus karena telah mengancam mereka dengan kata-katanya. 

Sang Kritikus sempat melakukan pelarian dengan sang Kesatria waktu rumahnya dikepung oleh panji-panji Tarup Kalis. Sang Kesatria, yang jatuh cinta pada sang Kritikus, tak mampu menahan dirinya sendiri dari permintaan yang dicinta untuk melarikan diri. Mereka berdua beda kasta, dan keduanya sudah dijodohkan pada orang lain di luar kehendak mereka. Kendati demikian, meskipun mereka berdua sudah bersembunyi di tempat sakral sekalipun, semuanya sia-sia begitu Tarup Kalis menemukan kaki-tangan mereka. Baik sang Kritikus maupun sang Kesatria yang melindunginya dibunuh di tempat.

Dalam satu erangan terakhir penuh darah, sang Kritikus mengangkat kepalanya ke arah langit. Ia jatuh bersamaan dengan langit yang semakin menggelap karena tertutup oleh rembulan, mencipta gerhana secara spontan. Dikejutkan oleh adanya korona matahari, kedua netra sang Kritikus meneteskan air mata yang sudah lama ia tahan, sementara Tarup Kalis ternganga dan terperanjat. Dua tentakel multiwarna--layaknya pelangi yang lentur--seketika menjulur dari bawah bagian korona matahari menuju tubuh sang Kritikus yang tengah meregang kesadaran dengan kecepatan luar biasa.

Kala benang-benang tersebut benar-benar menyentuh bagian pundak dan lengannya, seluruh tubuhnya melemas; ada perasaan bebas dan damai yang ia rasakan. Tentakel kolosal itu dengan lembut menarik sang Kritikus yang telah menutup matanya ke langit terbuka, membungkam Tarup Kalis yang ada di bawahnya.

Dengan leher membentuk kurva dan tangan terbuka, seluruh partikel tubuhnya bertransformasi menjadi gumpalan karbon, jauh di luar angkasa. Bulatan baru yang terbentuk dari kumpulan karbon tersebut perlahan terakumulasi menjadi satu titik berdaya gravitasi tinggi yang redup sinarnya. Debu kosmik, asteroid, dan meteor yang ada di sekitarnya melebur di dalam titik itu, mewujud gas, dan mulai membakar dirinya sendiri menjadi sebuah bintang baru.

Dua tentakel multiwarna tersebut kemudian mundur, kembali bersembunyi di balik korona matahari selagi fase gerhana total berakhir. Banyak dari Tarup Kalis yang mengerjapkan mata mereka, sebagian ada yang tenggelam dalam sedu sedan dan teriakan, separuhnya lagi masih tercengang.

Usai membaca cerita itu, senyum sang pria paruh baya melebar. Ia tahu mesti memberikan buku ini kepada siapa.

<<<>>>

Bagi warga Bumi Blambangan, hujan pada tiga per empat malam adalah berkah yang tidak terkira di tengah penghujung kemarau panjang. Namun tidak dengan Lintang. Dadanya memendam sesak hanya dengan mendengar gemericik jarum-jarum bening yang mengikis susunan tanah liat di atas kepala laki-laki tersebut.

Kesaksian FulanDonde viven las historias. Descúbrelo ahora