Fragmen 4.0 | Ultimatum

48 5 1
                                    

"If I maintain my silence about my secret, it is my prisoner. If I let it slip from my tongue, I am its prisoner." 

-- Arthur Schopenhauer.

<<<>>>

Kelopak mata manusia ini terbuka lebar-lebar. Di mana dirinya?

Sejauh yang dia dapat lihat, keremangan mencengkeram seluruh tubuhnya. Ia masih bisa merasakan kedua telapak tangannya, tetapi hawa yang ia rasakan benar-benar berbeda. Atas, bawah, kanan, dan kirinya diselimuti oleh kegelapan. Sementara jauh di ujung sana, di depan dan di belakangnya, cahaya remang-remang menusuk retina netranya. Seluruh tubuhnya terlihat semi-transparan di tengah keremangan yang bertakhta.

Di atas, untaian konstelasi gemintang melingkupi seluruh sudut kubah pandangnya. Bentuknya bermacam-macam. Ada yang menyerupai awan, benda, dan seorang ... wanita. Sedangkan di bawah, ia dapat melihat samar-samar, presensi bola biru yang kelihatan mengapung di atas lautan hitam ini. Bola biru tersebut tidak sendirian. Sebuah bola kelabu dengan ukuran yang lebih kecil, mengelilingi bola biru itu. Tak butuh waktu lama hingga ia mulai menyadari dalam keyakinannya, bahwa inilah tempat yang selama ini ia tinggali. Mayapada. Bentala. Bumi.

Manusia--atau lebih tepatnya pria--ini ingin sekali mencari tahu apa tempat ini sebenarnya. Siapa yang membawanya kemari. Untuk apa ia berada di tempat ini. Kenapa ia tidak melayang dan kehabisan napas di ruang hampa, dan tidak jatuh kembali ke bumi. Masalahnya, pria ini juga tidak tahu apakah ia sudah mati atau belum, apakah ini mimpi atau bukan. 

Ia tidak yakin ke mana kematian telah membawanya. Kehidupan setelah kematian bukanlah hal yang begitu ia harapkan atau terlalu pikirkan secara mendalam. Sudah lama diperdebatkan, di semesta dan dunia yang tak terhitung, mengenai apa yang terjadi setelah kematian. Beberapa ada yang berkata, mereka yang telah mati akan naik menuju kekosongan, nirwana, atau kembali lahir ke dunia melalui siklus reinkarnasi. Sebagian kecil lagi berkata jiwa mereka yang bersifat rohaniah akan melebur kembali menjadi substansi yang baru. Entah apa arti jiwa baginya.

Bangkit dari tempatnya semula, pria ini mulai mengedarkan pandangan dan langkah ke sekelilingnya. Masih remang-remang seperti sebelumnya, Sensasi vertigo merayapi diri laki-laki tersebut begitu matanya memincing ke bawah. Bola merah raksasa di ujung sana memancarkan sinar yang memanaskan seluruh badannya. Ia tidak yakin jika indranya memang berfungsi atau tidak. Lagi-lagi, pria ini kembali bertanya pada ruang hampa dalam hati. Beberapa saat kemudian, entah mengapa, bulu kuduknya meremang. Ia mengingat sesuatu samar-samar.

<<<>>>

Selama bertahun-tahun di tanah perantauan, Lintang Punarbawa tahu betul seperti apa masa depan yang ia inginkan. Sang gitaris itu tahu benar tipikal gadis seperti apa yang ia akan jadikan pacar atau nikahi. Ia sudah memprediksi kemungkinan-kemungkinan ke mana saja jalan karir ini hendak membawanya. Ia bahkan sudah menetapkan berapa anak yang akan ia punyai. Mungkin, jika kautanya sekarang apa yang menjadikan dia bisa berhasil dan sukses, ia pasti menjawab, semuanya berkat kerja keras dan bakatku. Demikianlah yang dipercaya laki-laki tersebut.

Tak ada yang lebih menakutkan bagi laki-laki itu selain dianggap useless atau tak berguna bagi orang-orang di sekitarnya. Sedari kecil, arus kompetisi selalu mengalir deras dalam darahnya. Pada saat ia masih kecil, Lintang tak terlalu paham mengapa setiap kali ia tertinggal sedikit dari kawan-kawannya yang lain, orang tuanya selalu memberi tatapan dingin yang membuat sekujur raganya mengigil di siang bolong. Berada di bawah peringkat sepuluh besar saja seakan-akan menjadi salah satu dari sekian banyak dosa akbar yang mesti ia tebus dengan waktu bermain. 

Kesaksian FulanWhere stories live. Discover now