Fragmen 2.0 | Perjamuan

67 7 0
                                    

"Pernah, kita duduk dan menatapi yang terbentang luas seperti karpet persia itu. Pernah, kita tak kunjung terjaga. Pernah, seluruhnya seperti yang dijanjikan agama-agama dari Asia.

Ayo, Agave, kemarilah! Aku ibumu. Minum susuku lagi. 

Duduk di sini. Rerumputan ini sutra sampai ke Cina. Bulu-bulu domba seperti seluruh Dionysus di sini, semuanya serigala.

Anakku, bangkit. Ini Ibumu. Di sini, aku Ibumu. Aku apapun yang kau mau. Aku mau apapun yang kau mau. Aku mau kecupan Tuhan. 

Kecup aku."

-- Yudi Ahmad Tajudin, Time is Transient. We are Eternal.

<<<>>>

Lintang Punarbawa tak lain adalah orang asing yang menggelandang tanpa rumah dan tanpa seorang pun yang mampu mengingat dirinya.

Tiap hari ia duduk di bawah ki hujan yang dulu ditanam pemerintah kota, memainkan gitar usangnya dan berharap ada seorang dermawan baik hati yang bersedia memberikan sumbangan padanya. Sebenarnya, beberapa hari lalu, ia sempat tergoda untuk mencuri dari toko kelontong di dekat rumah Aura Sultana. Rencananya, lelaki itu bakal mengantongi satu potong roti di kantung jaketnya. Ia tinggal memilih dari dua pilihan alur cerita. Ia bisa lari secepat-cepatnya dan menghindar dari murka warga. Atau, ia bisa memilih tertangkap dan dipenjara. Akhir ceritanya tetap sama: orang-orang akan lupa siapa Lintang Punarbawa.

Namun, setiap kali ia mendekati rak makanan di toko sebelah utara, kata-kata ibunya kembali terngiang-ngiang, menggedor pintu nuraninya.

Ya Tuhan, sudah lama ia tak melihat ibu dan adik perempuannya.

Padahal, ia tinggal berdiri, berjalan ke utara sedikit, menyeberangi perempatan sebelum gerbang pantai, terus ke utara sambil menyusuri deretan kapal slerek, pasar ikan, warung makan, dan berhenti di semenanjung kecil tempat menyaksikan arunika. Hanya memakan waktu kurang dari sepuluh menit jika ia melangkahkan kakinya, dan kurang dari lima menit jika memakai mobilnya. Akan tetapi, sebagaimana yang diketahui kawanan orang terbuang di dunia, tidak ada kata mudah dalam penyelesaian perkara.

Mata laki-laki berambut hitam itu mengikuti kepak burung perkutut yang terbang lepas dari atas pohon menuju ketinggian mega-mega. Ia masih ingat ketika kutukan yang ditimpakan atasnya baru mencapai hari kedua. Betapa paniknya dirinya, sehingga mencoba mengemudikan mobil menyusuri pesisir pantai utara. Pasalnya, semua orang di tanah perantauannya tiba-tiba tak ingat siapa dirinya. Seakan-akan namanya telah musnah disapu ombak sangkala.

Nyaris saja ia menyerempet anak-anak yang baru saja pulang dari pengajian di surau kampung jika bukan karena rasa dingin yang tiba-tiba menusuk selaput kulitnya. Hawa dingin tersebut datang seperti lompatan listrik dari satu perantara ke lain perantara, menjelma putaran belati yang menyayat-nyayat sekujur tubuhnya. Semakin jauh ke arah utara, semakin menggigil raganya.

Akhirnya, ia mesti berputar balik menahan sedu sedan yang menggelora, tak kuasa membendung dingin yang menjalar ke jari-jemarinya.

Mau keluar dari Tanah Blambangan pun, ia tak akan sanggup. Bukan karena bensin atau uang, tetapi tiap kali ia mendekati daerah perbatasan, tubuhnya semakin lama semakin panas--layaknya orang sedang sakit demam berdarah.

Sampai saat ini, ia selalu terbayang-bayang, kapan kutukan ini akan sirna?

Hatinya ingin cepat kembali ke rumah kecil di sebelah utara.

Ia berkhayal jika ia bisa terbang laiknya burung, menyisiri pesisir dermaga bersama para nelayan yang melabuhkan kapal-kapalnya dan bersembunyi dari nyala lampu mercusuar mini di kejauhan saat matahari tenggelam. Atau hinggap di salah satu kedai makanan, menyaksikan rangkaian lentera berapi di tepi jalan pada malam minggu--sembari menertawakan anak-anak yang naik kereta bercahaya. Anak-anak dengan wajah sumringah, seakan mereka telah melakukan perjalanan keliling dunia dalam sehari semalam.

Kesaksian FulanWhere stories live. Discover now