Fragmen 5.0 | Firasat

47 8 0
                                    

It could of course be silk. Fifty yards or so
of the next closest thing to water to the touch,
or it could just as easily be a shaft of  wood

crumpling a man struck between spaulder and helm.
But now, with the rain making a noisy erasure
of this town, it is the flash that arrives

and leaves at nearly the same moment. It's what I want
to be in this moment, in this doorway,
because much as I'd love to be the silk-shimmer

against the curve of anyone's arm,
as brutal and impeccable as it'd be to soar
from a crossbow with a whistle and have a man

switch off upon my arrival, it is nothing
compared to that moment when I eat the dark,
draw shadows in quick strokes across wall

and start a tongue counting
down to thunder. That counting that says,
I am this far. I am this close.

-- Jamaal May, Hum for the Bolt.

<<<>>>

Di atas rumah Lintang Punarbawa, suara dengungan mirip letupan terompet tiba-tiba mengangkasa.

"Apa yang sudah terjadi?" teriak laki-laki itu menyaksikan langit penuh awan kelam yang sesekali terbelah seperti kilatan minyak berwarna merah mawar. Daun-daun trembesi berguguran terkena angin kencang yang muncul dari arah barat. Kucing-kucing peliharaannya kabur entah ke mana, mungkin ikut terbawa dengan adiknya.

Laki-laki tersebut bergegas keluar dari kamar dalam posisi belum berbenah diri. Rasa-rasanya ia sudah tak peduli lagi dengan penampakan rambut yang agak berantakan. Apakah yang lain mengalami hal yang sama? Apakah ini tidak seburuk seperti apa yang ia lihat? Tidak, ini tentu pasti lebih buruk daripada yang ia bayangkan.

Oh, ya. Azima. Adik perempuannya tidak ada di kamar sebelah. Ia melongokan kepala. Di mana dia?

Begitu ia menyalakan televisi LED 42 inci yang pernah dibelikan almarhum ayahnya, mulutnya lambat laun ternganga. Ternyata bukan hanya Lintang yang merasakan anomali, nyaris semua stasiun televisi memberitakan hal yang sama. Kawanan awan kelam tersebar nyaris secara merata di berbagai penjuru dunia, seolah-olah kemarin deretan gunung berapi di Jawadwipa baru saja meletus bersamaan dan Bumi tak lagi memperoleh pasokan sinar matahari karenanya.

Suara-suara dan dengungan aneh turun dari langit dan menggetarkan hati penduduk setempat. Ibu yang terduduk di sebelah Lintang usai memasak di dapur menutup mulut dengan kedua telapak tangan begitu berita soal kerusuhan tak terkendali di Jakarta, Yogyakarta, Palembang, Ambon, dan Kendari meluap ke permukaan. Laki-laki itu tak tega menyaksikannya.

Dengan bantuan sebuah tongkat kayu, Sanjiwani—yang tampaknya tak mampu lagi berkata-kata dilihat dari air mukanya—ia tuntun untuk melangkah perlahan. Langkah kaki mereka berdua seakan menggema di rumah kecil yang sepi ini. Semenjak kepergian Bapak, hanya Azima dan Lintang yang tersisa untuk merawat Ibu, sedangkan saudara-saudara jauh dan sepupu mereka kini sudah terlalu fokus dengan keluarga mereka masing-masing.

Kesaksian FulanOù les histoires vivent. Découvrez maintenant