12 : Support?

1.7K 304 64
                                    

Hujan pun tahu kapan waktunya turun.

Entah berapa banyak tangis yang dia rendam dengan suaranya. Rintik hujan seolah ikut meneteskan air mata dan bunyi petir bukti dari rasa sakit.

Kata orang dulu—jangan menangis pada malam hari, nanti ada yang mengikuti. Untungnya Iren tidak tahu soal itu jadi ia secara leluasa mengeluarkan unek-unek dalam hatinya lewat air mata.

Ya, she crying.

Sekarang dirinya mengerti bahwa dunia ini adalah tempat orang dikhianati. Tempat terluka. Tempat di mana terkadang yang kita harapkan tidak terjadi dan malah sebaliknya. Dunia bukan hanya tentang bahagia saja.

"Hujan hanya menutupi air mata, bukan luka. Saat lo terluka dan hujan-hujanan gini, lo bisa lebih sakit setelahnya."

Sebuah payung menutupi dirinya dari air sehingga hujan tak lagi membasahi dirinya yang sudah basah kuyup. "Jangan ganggu gue, tolong tinggalin gue sendiri," ujar Iren lalu membuang muka.

Tapi tidak, laki-laki itu justru duduk di sebelah Iren.

"Gue gak butuh payung lo. Sana pergi!"

Seakan menuruti ucapannya, laki-laki itu membuang payungnya sehingga mereka tak lagi terlindungi. Yang tak ikut basah kehujanan pun berakhir sama. Namun laki-laki itu tidak marah.

"Lo kaya gini karena Pak Byan?" Satu tanya itu menarik kencang tangisan Iren. "Mau gue peluk?"

"Kenapa harus Jihan?" paraunya. "Di dunia ini masih banyak perempuan tapi kenapa harus Jihan? Kenapa harus sosok yang deket sama gue?"

"Karena dunia tahu caranya menyakiti."

Iren memeluknya dan bersandar di dada. Laki-laki itu membalasnya dengan sangat erat. Tidak pernah terlihat tapi selalu terasa, namun kali ini hal itu tak lagi dia sembunyikan.

"Kenapa lo hanya tertuju sama Pak Byan? Kenapa hanya melihat ke depan tanpa mau tahu kalau di belakang ada yang tetap setia menanti lo?"

Iren melepas peluk dan pelan-pelan bergerak menjauh.

"Maksud ... lo?"

"Lo alasan setiap patah hati gue, Ren."

*****

Masih pagi sudah dibuat recok. Jihan mengeluh kehilangan ponsel dan lupa di mana terakhir kali dia menyimpan benda itu. Untung ada Keira yang menyiapkan makanan, jadi Byan lebih santai setelah selesai bersiap.

"Mas, bantuin!" keluh Jihan.

"Iya ini mau aku telpon."

Tidak lama dering panggilan terdengar menandakan kalau ponsel itu masih ada di kamar, tidak hilang kemana pun. Byan mencari titik utama dari suaranya sampai akhirnya ponsel itu ketemu di bawah ranjang.

"What?"

"Ketemu?" Jihan tidak butuh jawaban karena apa yang dia lihat sudah cukup menjawabnya. "Alhamdulillah gak ilang. Aku udah takut, sayang banget soalnya."

"Teti itu apa?" bingungnya.

"Eh!" Mata Jihan membulat. "Itu nama iseng aja. Aku mau ganti tapi lupa terus. Sini-sini aku ganti."

Byan mengangkat ke atas gadget istrinya itu agar dia tak bisa menggapai. "Lupa terus? Twenty four seven kita chatan. Mungkin kalau aku gak tahu, kamu engga akan ganti."

"Gak gitu mas!"

"Aku yang ganti sendiri!"

"Aku aja!"

"Aku!"

Byan kalau sudah A ya susah diganti. Jihan hanya bisa diam sambil menanti suaminya itu mengembalikan ponselnya.

Married With TeacherDonde viven las historias. Descúbrelo ahora