14. TRAUMA

103 12 6
                                    

"Kenapa harus mencemaskan anggapan orang? Garis hidup kita ada di tangan Tuhan, bukan manusia. Selama kita tidak salah, jangan takut di benci, jangan takut di musuhi. Ingat, jalan surga tidak lewat depan rumah mereka."

___________

Selamat Membaca~

🌿

Albi menatap sendu papan tulis di depan kelas. Pembagian kelompok diskusi PPKN benar-benar tidak adil. Semua nama murid di kelas ada di sana, kecuali Albiansyahrenza. Bukan guru, tapi Fadri—keamanan kelas— yang mengajukan diri untuk membagi kelompok. Ia melakukan itu bukan hanya karena di suruh Okta, melainkan tulus dari hati. Albi tau kalau Galih—ketua kelas—melirik iba padanya, Albi menatap balik meminta bantuannya, karena Galih pernah membantunya dulu di belakang Okta. Tak mau membuat Albi berharap, Galih membuang pandangannya ke arah lain. Hari ini Pak Elyo tidak dapat hadir, sebab beliau sakit. Tugas di titipkan pada Galih, ingin di bagi oleh Sisil—sekretaris kelas—tapi Fadri lebih dulu merebut spidol di tangan cewek berpipi chubby itu. Kalau tidak ada Okta, pasti Galih akan memasukkan Albi ke kelompoknya, tahu bahwa kemampuan Albi bisa membantu banyak di sana. 

Albi menyendiri di tengah-tengah kumpulan kelompok belajar. Mereka bercanda, berbincang, saling bertukar pendapat dan pikiran. Hanya Albi yang harus mengerjakan semuanya sendiri. Sesekali ia melirik teman-temannya, hatinya teriris melihat tawa di mulut mereka. Kenapa Albi tidak boleh ikut tertawa bersama mereka?

Sekelebat bayangan teman-temannya datang di depan mata, seandainya mereka sekelas dengan Albi. Pasti ia tidak akan kesepian, mereka bisa seperti teman-teman sekelasnya yang lain. Albi menyeka air matanya yang menggenang, sudah cukup rasanya menangisi mereka. Toh, mereka juga tidak akan kasihan dengan keadaan Albi. Ia memilih melanjutkan kegiatannya yang tertunda; mengerjakan tugas diskusi kelompok.

Suara bel istirahat menggema bak terompet kemenangan. Semua orang bergegas menyimpan barang-barangnya ke dalam tas. Beberapa orang termasuk Galih, keluar dari kelas, sisanya masih betah di kelas. Albi merasa ada yang aneh, kenapa awal istirahat mereka betah di kelas? Biasanya mereka akan beramai-ramai keluar dari kelas, hingga kadang berebutan melewati pintu.

Sepertinya memang ada yang tidak beres, seringai dan tatapan mereka menandakan akan terjadi sesuatu yang buruk. Paling meresahkan, tatapan dan seringai itu tertuju pada Albi. Manik cokelat Albi berkeliling menatap wajah-wajah jahat di sekelilingnya. Albi cepat-cepat menggeleng, menepis pikiran-pikiran buruknya.

Baru saja hendak bangkit, tiba-tiba Dani menyambar tas baru Albi. Cowok itu membawa tas Albi ke depan kelas dengan tawa menggema. "Dani!" panggil Albi. Saat akan menghampiri Dani, dua teman sekelasnya yang laki-laki menahan kedua tangannya. Dani maju, ia membuka kancing seragam Albi. Menanggalkan kemeja putih itu dengan paksa dari tubuh Albi. Lalu membawanya keluar kelas. Mengenyampingkan malunya, Albi mengejar Dani. Meski tubuhnya kini shirtless.

Dani terus berlari dan Albi juga terus mengejarnya. Sampai di tangga, Dani melemparnya pada Zio—salah seorang siswa kelas XII IPA 4. Dani berhenti berlari, Albi beralih mengejar Zio yang menuruni tangga menuju lantai dua. Suara Albi menggema memanggil Zio, tapi cowok itu terus berlari. Di tangga kelas XI, tas Albi beralih tangan pada Fion—salah seorang siswa kelas XI Bahasa 3. Napasnya sudah hampir habis, tapi keadaan memaksa Albi untuk terus berlari.

Pengejaran berakhir di kantin. Fhion melemparnya pada Okta. Langkah kaki Albi memelan, dadanya naik turun memasok oksigen. Netra Albi tak berkedip menyorot fokus pada dua benda miliknya.

AFEKSI (end)Where stories live. Discover now