Bab 5: Tahu

2.2K 212 1
                                    

Aira sampai dengan tubuh yang basah di klinik hewan terdekat. Secepat apapun ia berlari tetap kehujanan matanya melirik pada kucing digendongnya, mendobrak pintu masuk klinik dengan tergesa-gesa.

Brak!

"Permisi! Bisakah kau menyelamatkannya?"

Hanya ada 2 pegawai dan satu orang berpakaian jas dokter disana nampak terkejut dengan kedatangan tamu yang tiba-tiba secara bar-bar mendobrak pintu.

"Ada yang bisa kami bantu?" Orang yang memakai jas dokter bertanya kepada Aira, melihat ke arah jaket buntal.

Aira menganggukkan kepalanya cepat memberikan buntalan itu kepada orang itu.

"Aku akan segera memeriksanya, Sena ambilkan handuk untuknya."

Begitu dokter itu berkata ia segera masuk kedalam ruangannya, orang yang dipanggil Sena memberikan handuk kering dan pegawai pria mereka memberikan susu hangat.

Bibir mungilnya bergetar karena udara dingin yang menusuk tulang, mengeratkan handuk pada tubuh kecilnya Aira menggigit bibir bawahnya cemas melirik jam dinding di klinik hewan menunjukkan pukul 08.05 cengkraman pada cangkir mug mengerat.

Dia telat.

Aira menghela nafas berat.

Pintu ruang pemeriksaan terbuka membuat Aira berdiri menjatuhkan handuk yang tersampir di bahunya.

"Bagaimana keadaannya?"

Aira menatap wajah sang dokter hewan yang tersenyum ramah.

"Dia akan baik-baik saja setelah perawatan, tapi mungkin akan menimbulkan trauma pada manusia melihat ada tanda cekikan di lehernya."

'Cekikan?'

Aira tidak tahu tentang itu.

"Kita doakan saja dia akan baik-baik saja, apa kau tidak ke sekolah nak? Kau bisa kesini setalah pulang."

Aira mengangguk mengerti dan menghela nafas lega.

"Ngomong-ngomong siapa namanya?"

Pertanyaan dari sang dokter membuat Aira bingung, dia terlalu panik hingga lupa dan bahwa itu kucing liar.

["Lucky! Aku memberi namamu seperti itu."]

"Lucky." Jawab Aira pasti.

"Oh! Itu sangat menarik kenapa?"

Aira berpikir sejenak hingga sebuah baris kalimat pada ingatannya memicunya.

["Karena Kau masih hidup setelah hampir sekarat!"]

"Karena dia masih hidup setelah hampir sekarat." Jawaban Aira mengalun tenang, mengagetkan siapa pun yang ada di klinik itu.

Sang dokter tersenyum canggung dan segera berkata.

"Mengapa kau tidak berangkat sekolah sekarang?"

Aira terkaget, "Ah! Terimakasih banyak! Saya akan mampir setelah pulang sekolah!"

Aira membungkukkan badannya dan segera berlari keluar mengabaikan sesuatu dalam ingatannya yang dia tepis secara samar-samar mulai kembali saat ia berlari.

["Kau sungguh hebat setelah hampir ku bunuh! Lucky! Kau sangat keren kau temanku sekarang!"]

["Bukannya kita adalah teman?" Anak lelaki itu menatap kecewa gadis kecil dengan Surai coklat kemerahan, gadis itu bergetar ketakutan wajahnya yang manis tampak pucat.]

Aira bergidik seluruh buku romanya berdiri, dia merasa jauh lebih kedinginan dalam ketakutan. Nafasnya tersengal-sengal.

'Apa itu?' pikirnya merinding.

["AHAHAHAHAHA!" Tawa mengerikan keluar dari bocah berumur 5 tahun itu, menatap nanar tubuh yang telah menjadi tak layak. Gadis kecil itu ketakutan Air matanya mengalir, mual ia rasakan.]

["Kenapa kau melakukan ini?" Tanyanya ketakutan.

"Kenapa?"

"Karena ini menyenangkan!"]

"Itu menyenangkan." Suara tawa halus terdengar polos dan suci.

Aira menatap kaget kearah Reynard, dia sudah sampai di Taman Kanak-kanak tubuhnya bergetar dalam ketakutan dan amarah berjalan dengan cepat kerah Reynard mengabaikan Kayana yang memanggilnya.

Para guru pembimbing menatap Aira yang kebasahan saat masuk kelas dengan cepat mengambil handuk, sebelum para guru menghampirinya Aira memukul Reynard dengan gesit tepat di pipinya.

Buk!

Kebingungan melanda Reynard dia merasakan sakit di pipinya, lukanya bahkan belum sembuh dari pada itu dia lebih bingung lagi mengapa Aira memukulnya. Bertanya-tanya apakah Aira mengetahui bahwa ialah yang membuat kucing itu sekarat.

Mata hijau Reynard menatap mata hazelnut milik Aira yang berlinang Air mata dan amarah.

Sesuatu melintas dalam otak Reynard.

'Ah, dia tahu.'

Mata Reynard berlinang Air mata, hingga kedua anak berbeda gender menangis seperti paduan suara.

Pagi yang penuh dengan air mata serta kebenaran.

Pagi yang penuh dengan air mata serta kebenaran

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.




Stuck in Novel Where stories live. Discover now