36

233 14 0
                                    

"dimana ini?" Frederick bertanya dengan suara serak, memijat kepalanya yang terasa pusing.

"Di rumah saya, silahkan sarapan dulu Tuan." jawaban itu langsung mengirim rasa sakit ke Frederick.

Memijat pelipis pelan, Frederick mencoba untuk berdiri, serpihan kaca dan botol-botol sudah dibersihkan. Bulan memapah pemuda itu untuk duduk di meja kecil. Sarapan sudah disajikan, aromanya menggugah selera.

"Tolong isi perut anda tuan, itu akan mengurangi rasa mabuk anda."

Masih dengan kepalanya yang sakit, ia memijat kepalanya pelan, Frederick menatap wanita itu. Sama sekali tidak tertarik dengan makanan yang disajikan.

"Bagaimana aku bisa disini?" tanyanya.

"Ah! Soal itu, anda tertidur diatas meja bar. Para pelayan, sudah berusaha membangunkan Anda ."

"Tapi, anda tertidur pulas. Karena kami tidak tahu rumah anda, manajer menyuruh saya membawa anda ke rumah saya. Itu juga, karena rumah saya paling dekat dengan bar." Papar wanita itu.

Frederick menyimak, mengusap kasar wajahnya. Tidak biasanya dia tertidur, saat sedang ramai orang.

"Apa aku melakukan hal aneh?" tanyanya gusar.

Bulan menggeleng kepalanya, memang pemuda itu tidak melakukan hal aneh sih..cuma, Bulan memainkan jari-jarinya gelisah. Sang Puan merasa terintimidasi dengan mata abu yang menatapnya dengan menyelidik.

"Tidak ada, hanya anda menggumamkan nama seseorang." Frederick tentu saja tidak percaya, ia menyadari gelagat aneh wanita. Mengalihkan matanya, memainkan jari-jarinya di bawah meja, keringat dipelipisnya.

Sial, makin ia lihat, wanita itu terlihat mirip dengan gadisnya. Rambut hitam itu! Mata coklat itu! Betapa inginnya Frederick mencongkel matanya, agar hanya dapat melihatnya saja. Tapi ia menahannya, karena mata itu lebih cantik di wajah sang gadis. Atau mematahkan kakinya, Tidak! Dia masih ingin mendengar derap kaki ringan di sekitar apartemennya.

"Terus, bagaimana ruangan ini bisa berantakan?" tanyanya, membuat Bulan tersentak kaget. Ia menghela nafas lega, kemudian tersenyum hangat.

"Kemarin, tetangga sebelah menitipkan anaknya kepada saya. Saat itu anda masih tidur, jadi anda tidak mengetahuinya. Anak itu tak sengaja memecahkan botol kacanya, dia menyelinap pergi saat saya tak mengawasinya." jelasnya lembut, menyelipkan rambut yang tergerai ke belakang telinga.

"Saya tak sempat membereskannya, karena saat itu dia masih ngeyel." lanjutnya, terkekeh lembut. Kelopak matanya terkulai ke bawah, dengan senyuman kecil dan rona merah di pipinya. Orang-orang mungkin akan bersemu malu, melihat senyum sempurna itu.

Tapi Frederick tidak seperti orang-orang. Semakin lama dia disini, dadanya terasa sesak, dia membutuhkan nafasnya. Ingin bernafas lega, bukan mencekik. Tapi tubuhnya tak menurut, setiap sel darahnya berteriak untuk bersama sang gadis. Namun egonya ingin bersama wanita yang mirip gadisnya.

"Aku pergi." Ucapnya.

"Anda tidak ingin sarapan dulu?" Bulan bertanya was-was, melihat Pemuda itu mengambil jaketnya di gantungan.

"Tidak perlu, terimakasih sudah merawatku." Ucapnya, menatap Bulan.

"Oh, berapa umurmu?"tanya Frederick tiba-tiba. Bulan bingung, namun tetap menjawab. "Saya 24."

Frederick masih menatapnya sebentar, kemudian ia membuka pintu rumah Bulan. "Aku empat tahun lebih muda dari anda, tidak perlu formal." kemudian ia menutup pintu tanpa pamit.

•••
16.47[Apartemen Frederick]

"Apa yang terjadi padamu?" Aira bertanya bingung, saat dari sejam yang lalu ia dipeluk oleh Frederick tanpa izinnya. Saat ia pulang, pemuda itu langsung menyeretnya ke sofa, kemudian tanpa permisi memeluknya dari belakang.

Stuck in Novel Where stories live. Discover now