38 Marah Besar

9.1K 833 26
                                    


Lamaranku besok! Tapi hari ini aku dan Arka malah harus berhadapan dengan masalah baru. Dia harusnya menjelaskan kepadaku, siapa perempuan yang mengangkat teleponnya siang tadi. Sampai detik ini laki-laki itu tidak datang kemari. Tidak ada penjelasan. Sementara aku sudah mematikan ponsel sejak pulang ke rumah.

Mama mungkin bingung kenapa aku mendadak masuk kamar dan tidak keluar lagi sampai pukul tujuh malam. Kak Della bertanya ini itu tapi tak satupun kujawab. Aku butuh waktu untuk sendiri.

Bodoh! Kepalaku dipenuhi kecurigaan yang entah datang dari bisikan setan mana. Arka ... selingkuh? Kalaupun iya, aku tak sanggup mendengarnya! Menangis tidak akan meyelesaikan masalah, tapi air mata sudah mengucur deras. Cengeng banget Kalangi ini! Aku jadi ragu, apakah harus melanjutkan semua ini? apakah aku bisa percaya pada laki-laki itu? ada secuil rasa ingin mundur dari semua sandiwara kehidupan ini. Mundur dari hari esok yang tinggal menghitung jam! Menit serta detik! Tak mau peduli apa kata orang. Terserah.

Pintu terketuk, tak lama terbuka. Mama melongokkan wajah khawatirnya. Oh, Tuhan ... bahkan aku belum bicara sepatah katapun dengan orang rumah. "Ada Arka di sini, Kal." Ucap Mama, memberi tahu.

Akhirnya, dia datang juga. Mau apa?

"Temuin dia Kala," suara Mama terdengar sangat lembut.

"Malas, Ma. Pengin tidur." Jawabku sambil mendekap guling lebih erat lagi.

Kudengar pintu tertutup. Sejak pulang dari rumah Arka aku belum sempat mengganti bajuku, masih dengan dress selutut warna biru. Masih dengan rambut tergerai yang sengaja aku catok dan dibentuk keriting gantung di bagian bawahnya, sekarang sudah rusak. Berantakan! Sama seperti mood-ku saat ini.

Saat ingin memejamkan mata dengan pikiran sekusut ini pintu mendadak tebuka lagi, tidak ada suara, tapi ada langkah berat yang kian mendekat dan tak lama seseorang nampaknya duduk di tepi ranjangku—tanpa permisi.

"Angi..."

Aku langsung menoleh. Kaget melihat Arka sudah di kamarku. Aku ingin mengusirnya sekarang juga.

"Mama yang suruh aku masuk, Papa ada di luar, kamu bisa teriak kalau aku sentuh kamu," jelasnya.

Teriak? Tak sanggup, yang kuinginkan hanya berbaring dan melupakan lamaran besok pagi.

"Angi, aku bisa jelasin semuanya. Yang angkat telepon kamu—."

"Bohong! Kamu pasti mau bohong sama semua orang, kan?" potongku dengan penuh emosi.

Arka menatapku tak percaya. "Kamu bisa dengerin aku dulu, kan?" ia tidak menunggu jawabanku dan langsung menjelaskan tanpa menyisakan jeda sedikitpun. "Angi, dia itu teman kuliahku waktu di Surabaya, dia kerja di sini dan tadi ... aku bener-bener nggak sengaja ketemu! Aku mampir ke TBS, dia ada di sana. Lalu kami makan bareng. Hanya sampai situ!"

Hah, ngapain Arka ke TBS? Alasan! Kan cowok player punya banyak alasan, pintar memutar balikkan fakta! Aku memilih bergeming dan tetap memunggunginya.

"Aku beli sesuatu buat kamu. Parfum kamu habis kan waktu itu dan kamu belum beli lagi?" tanyanya dengan nada melembut.

Benar, sampai detik ini aku belum membeli parfum lagi. Tapi dugaanku tetap sama, dia pasti hanya beralasan. Pintar sandiwara.

"Angi, percaya sama aku, please ... Aku nggak ada hubungan apa-apa sama dia. Demi Tuhan, Angi ... kamu jangan gini terus dong, besok—."

"Stop!" Kupotong kalimatnya yang belum selesai itu. "Besok nggak perlu datang, Ar. Batalin semuanya!" suaraku langsung serak ketika mengatakan ini, sudah ingin menangis tapi aku tahan. Sudah capek menangis sejak tadi siang, dan hatiku sampai sekarang masih mangkel. Jujur saja, aku ingin menampar wajah Arkana Pradipa sekarang. Bolak-balik. Tidak peduli sesayang apa aku dengannya, disaat yang sama aku juga benci dia.

THE ADMIRER (End)Where stories live. Discover now