8 Perang Mental

9.6K 1.1K 16
                                    

Hai, sudah buat akun Karyakarsa belum?

Siapin kocek ya buat baca part "Arkana"

Dia bakal curhat sama kita di KK. See you soon!!!

---


Kenapa ya, setiap kali melihat mukaku tatapan Arka tajam seperti pedang yang siap menghunus jantung seseorang, juga seperti ingin mencekik leherku. Sudah tiga hari ini Arka bertingkah seperti orang sedang menstruasi, sensitifnya luar biasa.

Minta ampun deh!

Kalau kata Fajri, Arka sedang mood swing banget. Ke semua orang tanpa pandang bulu dia meninggikan suara, bersikap galak dan sudah bukan tegas lagi. Bahkan Baim dan Ical pun sempat kena omelannya di hari Senin kemarin karena kongkow di basement hingga jam satu lewat, sebelumnya tidak pernah begitu, Arka santai-santai saja.

Kalau disuruh mencari penyebab Arka marah, jelas aku tidak tahu. Kalangi bukan peramal yang bisa membaca batin dan perasaan seseorang. Tapi, bisa jadi ini ada hubungannya dengan kejadian Minggu kemarin saat acara halal bihalal kampus. Entahlah, sejak acara itu aku merasa tatapan Arka memang seperti ingin mencekik siapapun yang mencari masalah dengannya, ingin menebas leher, tubuh dan menghunus jantung dengan tatapan pedangnya. Dan kenapa sih aku pun harus jadi korban lagi? Padahal baru saja aku merasakan sikap Arka yang pengertian dan baik di hari-hari sebelumnya. Dia itu sudah 28 tahun usianya, tapi masih kayak bocah lima belas tahun sensitifnya.

Kukira dia itu stress berat!

Satu jam lalu aku sudah mempersiapkan proposal untuk dipresentasikan hari ini, salah satu perusahaan ritel ternama di Jakarta menyerahkan proyek pembuatan aplikasi keuangannya pada kami. Sudah kulakukan investigasi dua kali dari sebelum halal bihalal, kunjunganku tak sendiri, ada Dwi dan seorang lagi yang membantuku. Tapi rasanya materi presentasi dalam kepalaku meluap entah kemana ketika Arka masuk ruang meeting dengan tampang murka seperti ini. Aku merasa harus bersiap-siap menghadapi kenyataan pahit lagi, mungkin sebuah penolakan atau komentar pedas yang menyatakan bahwa kinerja kami tidak bagus sama sekali, atau hasil investigasinya tidak menarik dan tidak cocok untuk perusahaan tersebut. Dan ternyata dugaanku tidak meleset, aku tersiksa batin hari ini. Setelah lima belas menit mulutku komat-kamit menjelaskan ini itu, presentasi masih belum selesai—karena ada beberapa slide lagi—Arka sudah memotongku dengan intonasi tinggi yang terdengar jutek dan dingin. Aku dan Dwi sampai berpandangan beberapa detik. Kiamat deh!

Selesai mendengar ocehan Arka yang ngalor-ngidul, dan nyinyir seperti biasa kalau melihat bawahannya tidak becus kerja, akhirnya aku menarik napas perlahan demi meraih puncak kesabaranku. Jangan terpancing, Arka atasanku yang lebih expert, sementara aku cuma bawahan yang wajib patuh.

"Sudah dipastikan yang kalian diskusikan sekarang sesuai kebutuhan perusahaan? Jangan sampai salah rancangan aplikasinya." Suara Arka masih sama tingginya, ia memandangku dengan tatapan dingin. Membuatku membeku beberapa saat. Seandainya punya riwayat jantung, aku sudah masuk IGD.

Dwi nampak tidak selera menjawab.

Aku memberanikan diri untuk bersuara. "Ini sudah sesuai kebutuhan kok, Ar. Sudah dua kali kami investigasi dan cek sana sini."

Arka menatapku sekilas, masih dengan tatapan dingin dan murka yang tidak tertebak. Lalu beralih pada Dwi, seperti ingin mengusir. Kami diam, hening tercipta sesaat, Arka membolak-balikan kertas di depannya. Kalau dilihat dari ekspresinya, kayaknya tanganya sudah gatal ingin melempar bundel itu ke pintu kaca. Namun...

"Ehem!" Arka menutup kertas-kertas di depannya, menyingkirkannya ke sisi kanan seperti tidak niat membaca ataupun sekadar melihat. "Mereka bayar mahal-mahal, gini aja hasilnya?" dia menatapku tajam. "Kurang ideal, Ngi. Ulangi sekali lagi investigasinya. Terus nanti proposalnya benerin, rombak semuanya sekalian!" Ucapnya tegas, "masa ngurus gini saja nggak becus!"

THE ADMIRER (End)Where stories live. Discover now