🍂 01. Dia yang Merasa Terabaikan

1K 99 17
                                    

Tuan muda Karan abinaya tirtatayasa

Tulisan besar dengan nama seseorang yang dituju itu terpampang sempurna. Tergores pada permukaan kertas pelangi yang sudah siap semenjak beberapa jam lalu pun akhirnya terangkat tinggi. Menandakan bahwa sosok yang dicari akan segera tiba, agar mempermudah mencari namanya diantara kertas-kertas lainnya. Pun menemukan orang yang telah menjemputnya malam hari ini.

Bising suara roda-roda koper melebur bersama riuh obrolan penuh rindu yang mereka sampaikan di awal pertemuan. Melepas rindu dengan sebuah pelukan hangat yang sosok itu lihat disekitarnya sekarang pun hanya sebagai objek tak bermakna.

Bagaimana bisa bermakna, jika dirinya seorang yang tidak merasakan peluk hangat ataupun senyum manis menyambut kedatangannya di Ibu Kota ini.

Pemuda dengan tubuh tinggi 160 dengan hodie kebesarannya itu melangkah lebar mendekati pria paruh baya yang menjunjung tinggi namanya. Tidak lupa senyum manisnya pun ikut menyapa sosok yang sudah meluangkan waktu menjemput.

"Tuan Karan Abinaya Tirtayasa, benar?" Yang ditanya mengangguk. Semakin melebarkan lengkung bibirnya.

"Maaf ya Pak bikin repot."

"Enggak repot sama sekali. Emang udah tugas saya."

Pria itu terdiam sejenak. Memperhatikan setiap lekukan wajah pemuda di depannya. Namun tak membutuhkan waktu lama, tangannya terulur sembari mengelus lengan anak itu. "Saya disuruh Tuan sama Nyonya buat jemput Aden. Soalnya mereka lagi ada kerjaan di Bandung, jadi nggak bisa jemput. Nggak apa-apa kan kalau saya yang jemput, Den?"

Pemuda itu tertawa kecil, sebelum akhirnya membalas dengan sisa-sisa tawanya. "Iya nggak apa-apa Pak. Santai aja. Aku udah seneng kok ada yang jemput. Kalau nggak ada Bapak, mungkin aku udah kesasar sana-sini."

"Oh ya, ngomong-ngomong nama Bapak siapa?"

"Nama saya Ridwan, Den."

"Yaudah Pak Ridwan, pulang sekarang yuk! Aku ngantuk banget, pengen rebahan."

Ridwan, Pria berumur lima puluhan itu mengiyakan. Lantas mengambil alih koper yang ada ditangan manjikan kecilnya itu.

"Di rumah ada siapa aja, Pak?"

"Lagi nggak ada orang Den." Pemuda itu kembali bungkam. Menelan balasan Ridwan dalam diamnya. Namun tidak butuh waktu lama, mulut kecilnya itu kembali bersuara.

"Jangan panggil aku Aden atau apalah itu. Pak Ridwan panggil aja aku Karan, atau kalau nggak enak bisa panggil Mas Karan aja, ya. Biar lebih akrab."

Yang lebih tua sedikit menimang. Cukup ragu dengan kemauan majikan mudanya itu. Tetapi melihat bagaimana sorot memohon, pun dengan wajah polos anak itu mau tak mau membuat Ridwan mengangguk.

Cukup lama keduanya ditemani hening sampai tiba di dalam mobil. Hingga roda empat itu perlahan merangkak membelah jalanan Jakarta yang masih padat-padatnya di tengah malam seperti ini.

Dia, pemuda dengan panggilan akrab Karan, wajah yang selalu dihiasi senyum ramah. Pemuda yang ceroboh, pun dengan sifatnya yang suka panik. Sosok yang sulit melepaskan amarahnya secara terbuka. Karan yang lebih senang menyembunyikan semua masalahnya dalam diam. Memendamnya seorang diri tanpa pernah membagikan kepada orang lain. Sosok yang selalu merasa dihakimi. Namun, tetap memilih diam.

"Kalau Kak Eros sama Bang Tian ke mana?"

Dari spion, Ridwan melirik sejenak wajah Karan yang terlihat lelah. Menarik napas pelan sebelum membalas ucapan anak itu. "Den Eros lagi lembur di Kantor Mas. Kalau Mas Tian sekarang ada di Apartemennya."

"Mereka tahu 'kan kalau aku pulang hari ini?"

Cukup lirih suara itu mengalun, bersamaan dengan mobil berhenti kala lampu lalu lintas bewarna merah. "Jelas tahulah, Mas. Kemarin mereka semua habis vidio call sama Tuan besar. Ngasih kabar kalau Mas Karan mau pulang hari ini."

Langkah Terakhir [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang