🍂 06. Mengasingkan

328 44 5
                                    

Dalam hidupnya, ada satu hal yang ingin pemuda bernama Zarka itu lakukan sebelum ceritanya selesai. Sejujurnya bukan hal sulit yang ingin ia capai, hanya butuh sebuah keberanian besar agar mulutnya berani mengungkapkan semuanya. Namun, dia juga tahu diri. Dia tidak ingin egois, karena apa yang ingin ia rasakan ternyata berefek besar kepada banyak orang. Ia tidak mau orang-orang yang dirinya sayang terluka.

Entahlah, satu rahasia yang ia simpan akan berakhir seperti apa.

"Jangan bengong. Tuh banyak yang antri minta foto," ujar Fitri- kasir yang bekerja di Cafe baru milik Tian.

"Nggak ah Mbak, malu. Tolong bilangin saya udah mau pulang, ya, please!" pinta Zarka sembari memasukkan gitar ke dalam wadahnya.

"Ngapain sih malu segala. Kalau Mbak ayo-ayo aja, jadi kayak artis beneran," sahut Fitri diakhiri kekehan.

"Aku bukan artis. Bilangin nanti aja kalau mau foto sama Kak Tian."

"Kamu mah nggak asyik. Kalau sama pelanggan tuh harus bisa turutin apa yang mereka minta, biar ketagihan kesini lagi. Kalau penyanyinya aja cuek kayak kamu, Mbak takut nggak ada yang bakal kesini lagi."

"Nggak mungkin. Ini Cafe ramai juga tahu kalau pemiliknya artis."

"Udah ya Mbak, aku pulang lewat belakang aja," sambung Zarka yang kemudian berlari kecil melewati beberapa orang yang masih meminta untuk foto bersama.

Belum sempat Zarka menyalakan mesin motor, tepukan dibahu mengalihkan atensinya. "Kak Tian?" Tian mengangguk sembari menurunkan masker yang ia kenakan.

"Mau pulang?"

"Iya Kak. Batas kerjanya sampai jam sembilan kan?" tanya Zarka memastikan. Takut jika sekarang bukan waktunya ia pulang.

"Iya. Cuma mau ingetin, jangan lupa besok ke acara jam tujuh."

Zarka mengangguk. Benar, dirinya besok diundang untuk menghibur para undangan dipesta ulang tahun butik Luna. "Tenang aja Kak. Aku nggak akan lupa 'kok."

"Kalau gitu hati-hati di jalan." Baru dua langkah kaki itu beranjak hingga suara Zarka menyerukan pertanyaan yang mampu menghentikan langkah Tian setelahnya.

"Kabar Karan, gimana, Kak?"

Hening beberapa detik sebelum badan Tian berbalik, menghadap sempurna Zarka yang memandangnya tanpa ekspresi. Memang dasarnya wajah Zarka itu terlalu datar.

"Seperti yang ada diberita. Dia nggak salah."

"Iya aku tahu, Kak. Tapi gimana keadaan Karan sekarang?"

Tanya itu menguar begitu tenang. Membiarkan dersik angin perlahan meleburkan dengung suaranya. Sampai sebuah senyum tipis membalas tanpa repot mengeluarkan jawaban sampai sosok Tian benar-benar hilang dari pandangan Zarka.

Tanpa jawaban yang ingin pemuda itu dengar.

"Kalian emang aneh," bisik Zarka.

)(

"Tadi Kakak kamu datang ke saya," ujar Andra setelah menyuapkan satu sendok nasi.

"Eros," sambung Andra yang paham akan tatapan tanya Karan. Anak itu kembali menyendokkan sayur kedalam mulutnya seolah tak begitu peduli.

"Kok diam?"

"Terus, Abang mau aku jawab apa?" tanya balik Karan.

"Ya tanya apa gitu? Misalnya, kenapa Kakak kamu temuin saya?" ujar Andra sedikit ragu.

Tidak ada jawaban sebelum Karan meletakkan kembali air minum yang kemudian berujar, "Aku nggak peduli mereka mau apa. Terserah, aku udah nggak berharap mereka jemput aku."

Langkah Terakhir [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang