🍂 09. Ruang Hampa

282 36 1
                                    

Sudah tiga jam lamanya mata Karan berusaha tertutup, tetapi enggan membiarkan sang empu terlelap. Jarum jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam sepulangnya ia dan Eros tadi. Namun, Kakaknya yang ia kira akan mengiterogasinya tidak bertanya sepatah kata pun. Sampai tubuhnya refleks terduduk kala pintu kamarnya dibuka kasar.

"Bagus kalau kamu belum tidur," ujar Verick keras. Berdiri nyalang didepan Karan yang kini beranjak berdiri dari tempat tidurnya.

"Ada apa, Pa?"

"Ada apa kamu bilang?! Seharusnya Papa yang tanya ke kamu. Kenapa hari ini bolos les?! Seminggu lagi kamu ujian, Karan. Sampai kapan kamu malas-malasan?!"

"Maaf, Pa. Aku tadi ada urusan, jadi..."

"Urusan apa? Punya urusan apa kamu selain belajar?! Papa nggak mau lagi dapat kabar kalau kamu bolos les atau masalah apapun itu! Ngerti?!"

Karan mengangguk. Dirinya akui ia salah menggunakan waktu. "Karan janji lain kali nggak akan ulangi lagi, Pa."

"Jangan bikin Papa malu. Jangan kecewakan Papa, Karan."

Sekali lagi, Karan mengangguk. Lantas membiarkan Papa pergi dengan amarah yang masih tersisa.

Setelah menutup pintu putra bungsunya Verick dikejutkan dengan adanya Tian yang berdiri menatapnya tanpa bisa pria paruh baya itu baca. "Baru pulang?"

Tian mengangguk. "Sempurna level Papa untuk yang ketiga kalinya. Semangat, Pa. Jangan sampai darah tinggi lagi," ucap dingin Tian yang kemudian melenggang memasuki kamarnya tanpa peduli Verick yang menggeram marah.

"Jangan mulai kurang ajar kamu, Tian!"

)(

"Jangan tekan Karan seperti Papa tekan aku dan Tian, Pa."

Tangan Verick yang sebelumnya membenarkan dasi itu terhenti. Menoleh ke arah putra sulungnya yang sudah berada diambang pintu kamar. Di belakang, ada Luna yang sedang mengendikkan bahu.

Eros melangkah lebih dalam mendekati sang Papa yang kembali ke aktifitas semula. "Papa tahu Karan dari kecil nggak pernah kenal sama didikan Papa. Jangan samakan Karan sama dua anak Papa yang lain. Aku nggak mau dia nggak betah di sini. Apalagi sampai terbebani cuma karena tuntutan dari Papa."

"Jangan lama-lama ngobrolnya. Mama tunggu di ruang makan," seloroh Luna sebelum menutup pintu. Memberi ruang kepada dua pria dewasa itu.

"Pa.."

"Kamu ternyata belum cukup dewasa, Eros."

Verick mengahadap sempurna ke arah putranya, lantas meremas pundak Eros dengan tatapan tegasnya. "Kamu nggak akan ngerti apa yang terbaik menurut Papa. Apapun yang Papa lakukan untuk anak-anak Papa itu yang terbaik. Jadi, jangan ikut campur."

"Tapi yang Papa lakuin itu belum tentu baik menurut mereka!"

Verick tersenyum miring sembari menaikkan sebelah alisnya. "Bukan terbaik menurut mereka? Tapi nyatanya, sekarang kamu dan Tian terbukti sukses tanpa bantuan Papa 'kan? Lalu apa yang membuat kamu meragukan didikan Papa, Eros?!"

Eros terdiam sembari meremas kepalan tangannya. Sampai kapan pun sifat Papa tidak akan berubah. Selalu saja semaunya.

"Sudah, ayo kita keluar. Yang lain sudah menunggu kita," ujar Verick sembari beranjak.

Belum sempat tubuh itu keluar, suara Eros kembali menguar. "Jangan suruh Karan les dua tempat sekaligus, Pa."

"Kalau boleh saran, lebih baik Karan les di Rumah aja. Jangan di luar."

Langkah Terakhir [ON GOING]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora