🍂 07. Masih Berupa Misteri

287 43 3
                                    

Seharian di Rumah bersama setumpuk buku membuat otak Karan yang terlalu lama dimanja terasa ingin meledak. Satu hal yang Karan tahu akan sifat kedua orang tuanya- yaitu sosok yang terlalu perfeksionis. Seharian ini dirinya disuruh mendekam dikamar guna mempelajari buku-buku yang Papanya berikan. Katanya sih, Karan harus baik dalam semua mata pelajaran atau lebih tepatnya dalam bidang akademik.

"Opa sama Oma aja nggak pernah perhatiin nilai. Sekarang harus lebih giat belajar, deh, lihat gimana sikap Papa yang gila kesempurnaan," gumam Karan sembari memijit keningnya penat.

Hari sudah beranjak sore ketika ia selesai mandi. Lantas membereskan buku-buku yang hampir semuanya berisi rumus-rumus yang Karan benci. Hingga suara ketukan menggerakkan langkah kaki itu guna membukakan pintu yang setelahnya nampak sosok laki-laki dewasa menjulang tinggi di depannya.

"Hai Karan! Lagi apa?"

Karan masih asing dengan orang di hadapannya itu tersenyum kikuk. "Oh iya kenalin dulu, Erlion Degarsa. Sahabat sekaligus rekan kerja Kakak lo. Panggil aja Kak Lion," ujar Lion mengulurkan tangannya yang langsung disambut hangat oleh Karan.

"Hai, Kak! Aku Karan, salam kenal," sahutnya dengan senyum lebar.

Lion mengangguk, kemudian mematut Karan dari atas sampai bawah. Seolah sedang menilai sosok itu. "Udah ganteng, manis lagi. Kayak siapa, ya?"

"Kak Singa lebih ganteng. Keren lagi," sahut Karan yang berhasil membuat mata Lion mendelik.

"Kak Singa? Wah, terserah lo mau panggil apa aja. Kayaknya kita sefrekuensi." Lion bertepuk tangan pun tak lepas tarikan dibibirnya membentuk senyum cerah. Tidak beda jauh dengan Karan. Seolah keduanya sudah lama saling kenal.

Rangkulan dipundak Karan membuat anak itu patuh akan langkah yang Lion bawa.

"Syukurlah sikap lo nggak sama kayak kedua Kakak lo. Jadi nggak bosen gue kalau ajak kalian jalan nanti," ujar Lion menggiring Karan menuju ruang tengah. Disana sudah ada Eros dengan dunianya. "Udah jangan kerja mulu! Waktunya jalan-jalan." Laptop yang sebelumnya berada dipangkuan Eros kini beralih diatas meja.

"Mana aktor kebanggan gue nih?"

"Bang Tian belum pulang Kak," sahut Karan. Memangnya siapa yang ada di Rumah ini selain dirinya dan para asisten Rumah tangga? Tidak mungkin Tian dan kedua orang tuanya ada di Rumah saat terang benderang. Bahkan kehadiran dua manusia itu sekarang termasuk hal yang patut dipertanyakan. "Emang mau ke mana?" sambungnya.

"Mau jalan-jalan dong. Sekalian buat nyambut kedatangan lo disini. Ya kan, Ros?"

Eros yang sedari tadi diam mengangguk sekilas. Kemudian beranjak mengambil laptop. Menatap kedua orang di sana sebelum berucap, "Siap-siap dulu sana!"

"Eh, beneran mau jalan-jalan?" tanya Karan dengan binar dikedua matanya.

"Serius dong, ayo ganti baju lo. Gue mau telepon Tian, biar nyusul nanti," sahut Lion

Senyum diwajah Karan semakin lebar. Tidak sadar jika Eros sudah berlalu menuju kamarnya pun dengan Lion yang sudah menekan tombol panggilan. "Ngapain masih disini? Cepat ganti baju!"

Lion geleng-geleng kepala saat Karan mengangguk penuh semangat lantas berlari menuju kamarnya. Meninggalkan Lion yang masih berusaha menelpon Tian.

"Tuh bocah baru jadi artis aja susah banget dihubungi. Gimana ntar kalau udah sukses beneran."

)(

"Ibu tahu kamu kerja part time di mana."

Pemuda yang sedang memetik senar gitar itu tertahan. Wajahnya masih sama datar meski di dalam sana detak jantungnya mulai tak terkendali.

Nurmala; sosok yang Zarka panggil Bunda itu mendekat. Duduk disebelahnya yang langsung meletakkan gitar diatas meja. "Kenapa nggak cerita? Udah nggak percaya lagi sama Bunda?"

Langkah Terakhir [ON GOING]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora