Prolog - Penyihir itu Datang Membawa Perjanjian

128 17 26
                                    

Aku bukan iblis.

Aku tidak ingin menjadi iblis.

Aku ... adalah manusia!


Desa itu telah mati akibat kutukan.

Di tepian sebuah desa kecil, terdapat menara batu setinggi tiga meter menjulang perkasa. Di atasnya terkurung sosok yang dulu dipercaya sebagai penyebab datangnya kutukan. Sehingga, tidak ada yang berani memasukinya.

Berbeda dengan pemuda tinggi bermata emas itu, kakinya terus melangkah memasuki desa dengan deretan rumah berdinding batu yang telah hancur sebagian, ditutupi lumut serta tumbuhan rambat. Matahari mulai terbenam membuat langit semakin gelap. Langkahnya berhenti ketika menara batu sudah menjulang di hadapannya.

Pemuda itu menaiki tangga spiral yang telah berlumut menuju puncak menara. Aroma lembab langsung menyeruak, sarang laba-laba pun membentang seolah memastikan tidak ada seorang pun yang pernah melewati tempat itu.

Langit di luar sana akhirnya gelap, matahari tergantikan bulan yang hanya terlihat seperti sabit kecil di atas sana. Tidak adanya penerangan tak menyurutkan niatnya untuk terus naik. Satu jentikan jari, empat bola api muncul entah dari mana; melayang, mengikuti langkahnya hingga sampai di depan sebuah ruangan berpintu besi.

Matanya menyipit ketika empat bola api mengitari pintu yang sama sekali tak bergembok. Hampir saja ia kecewa karena apa yang dicarinya sudah tidak ada, untung saja sebuah suara mengembalikan harapan itu.

"Siapa di sana?" tanya seseorang bersuara berat dari dalam ruangan tak berkunci itu.

Sang pemuda semakin mendekat dan membuka pintunya. Engsel dari pintu besi berkarat itu patah dan roboh seketika.

"Kenapa kau masih di sini sementara pintu dan segelnya telah lenyap?" tanyanya, alih-alih menjawab pertanyaan dari sosok di kegelapan.

"Karena memang di sinilah tempatku. Untuk merenung dan menebus dosa."

Pemuda bermata emas melangkah masuk, mau tidak mau empat bola api mengikutinya di belakang, membuat cahaya menerangi tempat pengap penuh debu itu.

Sekarang, ia dapat melihat dengan jelas seorang pemuda tengah duduk di bagian paling ujung ruangan dengan kaki dan tangan yang dipasung rantai berkarat. Hanya butuh sedikit sentakkan untuk melepasnya.

"Kau siapa?" Sosok itu kembali bertanya dengan mata kelam yang memantulkan cahaya dari bola api di hadapannya.

"Ini pertama kalinya aku mendengar iblis ingin menebus dosa."

"Aku bukan iblis. Aku manusia!" tukas sosok itu.

"Jika kau memang ingin menebus dosa dan menjadi manusia seutuhnya, mau membuat perjanjian denganku?" Ia berdiri tepat di hadapan sosok itu. Tubuhnya tinggi, pakaian serba hitam begitu kontras dengan kulitnya yang putih cenderung pucat.

"Kutanya, kau siapa?"

"Aku penyihir yang dapat membantu menyegel jiwa iblis dalam dirimu."

Pemuda itu tersenyum meremehkan. "Sungguh? Penyihir?"

Sang penyihir memasang raut datar. Tidak ada ekspresi yang dapat ditangkap dari wajahnya. "Mau, atau tidak?" ulangnya.

Senyuman itu akhirnya lenyap dan berganti tatapan tajam. "Perjanjian seperti apa?"

"Selamatkan umat manusia dari kutukan!"

"Selamatkan umat manusia dari kutukan!"

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Serenade, Desember 2022

Anathema: Sebuah PenebusanWhere stories live. Discover now