Bab 2.1 Kau, Aku, dan Kutukan

59 9 14
                                    

Pagi di musim panas hari itu begitu cerah, seharusnya dapat menjadi pengawal hari yang menyenangkan

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Pagi di musim panas hari itu begitu cerah, seharusnya dapat menjadi pengawal hari yang menyenangkan. Namun, tidak bagi Desa Glendalough. Tidak ada yang tersisa selain puing dan jalanan kosong penuh darah.

Di bagian tertinggi Glendalough, Azazel dan Mara berdiri di depan dua kuburan yang tanahnya masih baru. Ada setangkai bunga lily putih tersandar pada batu nisan yang seadanya-hanya batu biasa sebesar tiga kepalan tangan-di masing-masing makam. Mereka baru saja selesai mengadakan upacara pemakaman sederhana untuk Margareth dan Leon.

Mara tidak lagi menangis, seperti janjinya pada sang ibu untuk tidak menunjukkan kesedihan itu. Ini adalah perpisahan. Ia telah menerima ajakan Azazel untuk membantu melenyapkan seluruh monster hitam pemicu Anathema. Maka setelah berpamitan, ia mengikuti langkah Azazel untuk menyelesaikan tugas pertama mereka di Desa Lembah Dua Danau, Glendalough.

Mereka kembali ke tempat 'Inti Anathema' yang berhasil dihancurkan Azazel sebelumnya. Di atas pohon besar itu terdapat sebuah retakan dimensi yang hanya dapat dilihat oleh mereka berdua. Ada aura hitam disertai semburan api dari celah kecil itu.

Setelah semua monster hitam dimusnahkan, butuh banyak waktu bagi sebuah retakan untuk membentuk kembali kutukannya. Azazel bersyukur, keputusannya membantu Mara lebih dulu bukan kesalahan.

"Dengan menutupnya, Anathema akan lenyap dari desa ini," jelas Azazel.

"Bagaimana caranya?" Mara menoleh, menuntut penjelasan lebih.

"Hanya aku yang dapat melakukannya."

Tidak mengatakan apa pun lagi, Azazel menyentuh pohon besar itu. Energi berwarna merah mengalir dari telapak tangannya, masuk ke dalam pohon dan naik menuju puncak. Di atas sana energi terkumpul dan menjalar ke sela retakan. Aura hitam berhenti menguar, celah kecil menuju neraka perlahan menutup dan tidak berselang lama akhirnya lenyap. Azazel menarik napas dalam, mengeluarkannya perlahan. Mencoba menstabilkan energi yang terkuras sangat banyak.

"Selesai," gumam Azazel. Peluh berbulir di pelipisnya, sisa energi yang ia dapat dari memakan kutukan di tubuh Mara langsung lenyap tak bersisa.

Matahari sudah di atas kepala kala mereka kembali ke desa. Semua orang telah mati, habis termakan Anathema. Menjadikan tempat yang kemarin begitu ramai, kini sepi. Suara dedaunan yang bergesekan karena angin berembus menjadi terdengar jelas saking tak adanya suara lain.

Mereka berdua terus berjalan, melewati biara dan katedral yang kondisinya tidak jauh berbeda. Terus turun hingga sampai di padang rumput yang membentang luas. Ini pertama kali Mara pergi jauh. Seharusnya ia bahagia, tapi kepedihan yang tertinggal menghalangi senyumannya.

"Kemarilah!" ajak Azazel, tangannya terulur dan disambut tanpa ragu oleh Mara. Mereka jalan bergandengan, menuju danau di depan sana.

Kedamaian saat itu seakan menghapus jejak tragedi yang telah terjadi. Bahkan ketika Mara berbalik ke belakang untuk melihat kenangan yang tertinggal, tidak ada yang tertangkap inderanya. Hanya pemandangan indah; rumput hijau, langit biru dengan awan berarak, serta burung yang terbang melintas di atas mereka. Satu-satunya yang menjadi penanda bahwa di belakang sana ada tempat yang ia tinggali adalah puncak menara katedral yang terlihat dari kejauhan serta tebing tinggi tempat ibunya dan Leon dimakamkan.

Anathema: Sebuah PenebusanWhere stories live. Discover now