Bab 2.2 Perjalanan

52 10 8
                                    

"Kau dapat menyerap Anathema, secara tidak langsung menyembuhkan mereka. Tapi konsekuensinya, kau harus menanggung kutukan itu di dalam tubuhmu. Sementara aku dapat memakannya. Tapi tidak bisa kalau masih berwujud Anathema atau merasuki manusia." Azazel menjelaskan. "Intinya, ketika kutukan itu telah berubah menjadi gumpalan energi di dalam tubuhmu, maka aku dapat menyerap dan memakannya."

"Jadi aku tidak perlu takut hilang kendali lagi?"

"Benar. Tapi kau harus tetap pada batasnya. Karena ketika aku menyerap energi kutukan itu, rasanya akan sangat menyakitkan, Mara. Tubuhmu tidak akan kuat jika terlalu sering merasakannya."

"Syukurlah. Syukurlah."

Azazel membantu Mara berdiri dan mereka melanjutkan perjalanan, membelah hutan pinus untuk mencapai Desa Annamoe. Matahari sudah terbenam kala mereka masih di tengah rimbunnya pepohonan, membuat penglihatan menjadi begitu terbatas.

"Kita beristirahat di saja hingga matahari terbit!" ujar Azazel, menghentikan langkah.

Mara hanya mengangguk mengerti. Ia melirik sekitar, gelap dan sunyi, sesuatu yang tidak asing untuknya.

"Kemarilah!"

Seruan Azazel menyentak lamunannya. Entah sudah berapa lama ia berdiri terpaku menatap ke kejauhan, sebab ketika tersadar, sebuah api unggun sudah menyala tak jauh dari tempatnya berdiri.

Tidak ada percakapan malam itu. Mereka hanya duduk terdiam di depan kobaran api, menghangatkan diri sekaligus tenggelam dalam pikiran masing-masing.

"Kau kedinginan." Azazel duduk di sampingnya, memperhatikan tangan Mara yang bergetar.

Mara ikut melirik tangannya sendiri, lalu mengepalkannya. Ia saja tak sadar jika sedang kedinginan. Tubuhnya tersentak saat Azazel menggenggam kedua tangannya dan menggosok-gosokkannya hingga menimbulkan hawa hangat yang nyaman.

"Tidak mengantuk?" tanya Azazel.

Sedikit mengangguk, Mara berucap, "Sedikit."

"Berbaringlah, aku akan berjaga." Azazel berkata seraya mengubah posisi duduknya. Ia menekuk satu kaki dan mengisyaratkan untuk Mara berbantal pada pahanya.

Tanpa ragu, Mara menuruti. Ia memang sudah sangat lelah. Tak butuh berapa menit hingga akhirnya terlelap. Entah bagaimana, ia merasa begitu nyenyak, tidak dingin atau gelisah. Rasanya seperti tertidur bersama sang Ibu.

Saat matahari akhirnya menampakkan diri, mereka melanjutkan perjalanan menembus hutan dan berhenti di sebuah rumah kayu yang besar. Halamannya luas, tidak berpagar, tak pula terawat. Daun kering bertebaran, serta rumputnya tinggi tak beraturan.

"Mungkin kita dapat beristirahat di sini," ujar Azazel. Tangannya mengetuk pintu beberapa kali, tapi tidak ada sahutan. Ia mencoba mendorongnya dan tidak terkunci.

Derit nyaring terdengar dari engsel berkarat. Di dalam sangat pengap, seperti sudah lama tidak ditinggali. Ruangan luas itu hanya diisi satu perapian dan sebuah sofa merah tua yang sudah robek di beberapa bagian, busanya juga ada yang mencuat keluar. Di bagian kanan ada pintu lain, tapi mereka memilih menaiki tangga kayu menuju lantai dua terlebih dahulu, bunyi derit ketika diinjak memberi kekhawatiran kalau bisa saja salah satu anak tangganya jebol.

"Hati-hati melangkah!" seru Azazel.

Di lantai atas terdapat sebuah kamar yang tergembok. Mara menuju koridor sebelah kiri dan membuka jendela satu-satunya di sana. Udara segar akhirnya masuk, seakan membersihkan pernapasan yang dipenuhi debu. Cahaya masuk dan menyorot ke dalam, memberi penerangan lebih.

Derak keras terdengar, Azazel berhasil membuka pintu kamar dan memasukinya. Mara ikut di belakang, di dalam sana ada sebuah kamar yang menjadi satu-satunya tempat layak huni. Bersih dari debu, lengkap dengan ranjang, meja, dan lemari.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Mar 22 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Anathema: Sebuah PenebusanWhere stories live. Discover now