Bab 1.4 Neraka dalam Semalam

59 9 3
                                    

Leon menarik pelan Mara untuk mendudukkannya. Gadis itu tidak merespon semua panggilan, hanya merintih kesakitan. "Ana, kumohon tenanglah!" Suaranya bergetar. Keadaan Mara saat ini persis seperti lima tahun yang lalu, ketika hilang kendali. Tragedi itu akan kembali terjadi.

Jeritan pertama terdengar. Salah satu dari orang yang mengikuti upacara penumbalan berubah menjadi Anathema dan menyerang warga yang lain. Lalu satu Anathema lagi muncul. Lagi. Lagi. Lagi. Hingga hampir semuanya dirasuki.

Mara menjerit sambil menengadah. Monster hitam yang ia lihat berkerumun semakin banyak, lalu terbang menuju pemukiman bersama beberapa orang yang telah menjadi Anathema.

Leon memungut sebilah pedang yang terjatuh tak jauh dari tempatnya. Ia berlari menuju Anathema dan menebas putus kepala mereka satu persatu. Saat ini Mara tidak dapat menyembuhkan siapa pun. Ini satu-satunya cara.

"SIAL!" geram Leon ketika ia berhadapan dengan ayahnya sendiri yang sudah berubah dan mencoba menyerangnya. Leon hanya dapat menghindar, tidak sanggup melukainya. "Mana mungkin!" gumamnya. Akan tetapi, tubuhnya terasa kaku seakan ada yang mencengkeram. Kepalanya seperti dihantam sesuatu, lalu aura panas menjalar ke wajah, leher, dan seluruh badan.

Ayahnya yang semula ingin menyerang, berhenti dan berbalik arah—mengabaikan. Leon melirik tangannya yang terangkat sendiri seperti ada yang memaksa menggerakkannya. Ia ingin mengatakan sesuatu tapi mulutnya bungkam. Malah seringaian yang muncul.

Sudut mata Leon melirik beberapa Anathema—termasuk ayahnya—sedang berjalan ke arah Mara. Sekuat tenaga, ia bergerak mendekati mereka walau kakinya terasa berat. Ia menggeram, menarik napas dalam, dan lari menerjang dengan pedang di tangan. Dalam satu ayunan dari belakang, Leon menebas tiga Anathema yang mendekati Mara. Napasnya tercekat dan pedangnya terjatuh. Tatapannya tertuju pada kepala sang ayah yang jatuh menggelinding. Perlahan semua menjadi gelap.

"Ana ... bertahanlah!"

*****

Azazel baru saja kembali ke desa dan disambut oleh kekacauan; mayat bergelimpangan, darah di mana-mana. Orang-orang berlarian dikejar Anathema yang jumlahnya tidak terhitung. Ia menengadah, melihat monster hitam beterbangan di langit tak terkendali.

"Ini jauh lebih mengerikan dari yang kuperkirakan," lirihnya. Pedang merah tergenggam erat di tangan. Ia berlari menerjang Anathema, menebas kepala mereka dalam satu kali ayunan. Gerakannya lebih cepat dan gesit, menumbangkan semua yang melintas.

Jeritan yang sangat keras terdengar dari arah hutan. Monster hitam yang belum merasuki manusia meninggalkan desa yang nyaris punah. Tidak ada satu pun makhluk hidup yang terlihat, entah mereka sudah kabur atau mati. Matahari telah terbenam sedari tadi, menyisakan desa yang gelap sebab tidak ada satu pun manusia yang menyalakan obor.

Glendalough telah berakhir.

Azazel bergegas mengikuti arah jeritan, sama seperti monster hitam itu. Langkahnya terhenti saat menyaksikan fenomena yang pertama kali ini dilihatnya, semua monster berkumpul mengelilingi sesuatu—atau lebih tepatnya seseorang. Anathema yang tersisa berdiri menggeram di kejauhan, beberapa sedang menyantap buruan yang mereka tangkap.

"Apa lagi ini?" Ia mendekati kerumunan. Pedang terangkat, bersiap untuk segala serangan mendadak. Namun, ledakan bercahaya hitam terjadi. Azazel refleks mundur. Angin berembus kencang membuat jubah hitam panjangnya berkibar ke belakang. Mata yang menyipit untuk menghindari debu, berusaha menangkap sosok hitam yang keluar dari asal ledakan.

Angin berhenti berhembus dan Azazel bernapas lega. Kini ia dapat melihat Mara yang tubuhnya berubah hitam pekat sedang berdiri menengadah. Rambut merahnya yang panjang sepinggang tergerai berantakan. Beberapa helainya berkibar karena sisa tiupan angin.

Anathema: Sebuah PenebusanWhere stories live. Discover now